Salin Artikel

“Bukan HIV yang Membunuh, Tapi Stigma” (2)

Dokter kemudian mendekat dan memeriksa J. Begitu melihat berkas pasien, dokter tersebut kaget dan mundur beberapa langkah.

“B20 ya? Kenapa datang kesini? Nanti kalau minta rujukan tidak usah kesini,” ujar J menirukan ucapan tenaga kesehatan saat mengetahui dirinya pasien B20 atau HIV.

J menceritakan, perlakuan diskriminatif dari tenaga kesehatan sempat membuatnya sedih. Sebab bagi penderita HIV seperti dirinya, stigma dari masyarakat saja tidak cukup. Dokter pun, orang yang ia anggap memahami kesehatan, melakukannya.

“Dulu saya pikir bisa ke puskesmas mana saja, kebetulan saya ada di Cicaheum, saya ke puskesmas itu. Tapi sejak dapat perlakuan itu, saya akhirnya ke Puskesmas Ibrahim Adjie atau RSUD Ujungberung jika ada keluhan atau ingin mengambil obat,” ungkapnya.

Klinik Someah

Kepala Puskesmas Ibrahim Adjie (Ibra), S Nurhasi Jati Ningsih mengaku, proses meyakinkan tenaga medis dan staf puskesmas untuk tidak memberikan stigma atau mendiskriminasi pasien HIV memerlukan waktu bertahun-tahun.

Setidaknya, itulah yang terjadi di Puskesmas Ibra. Ia berulang kali menyamakan visi misi dengan pegawai puskesmas mulai dari dokter, bidan, perawat, bagian administrasi, hingga satpam.

“Intinya, saya sampaikan, bahwa kita sedang memutus mata rantai HIV-AIDS. Untuk mencapainya, kita tidak boleh memberikan stigma dan mendiskriminasi pasien B20. Perlakukan mereka seperti pasien biasanya,” ungkapnya.

Perempuan yang akrab disapa Ning ini pun mengirimkan dokter, suster, maupun bidan ke pelatihan HIV-AIDS. Bahkan ada yang sengaja diikutsertakan pelatihan konselor HIV-AIDS untuk lebih mengenal HIV-AIDS.

Kemudian di tahun 2013, puskesmas yang dipimpinnya mengambil langkah besar. Puskesmas Ibra menyatakan diri sebagai puskesmas ramah komunitas. Salah satunya dengan mengganti poli HIV-IMS menjadi Klinik Someah agar terdengar lebih akrab.

“Capaiannya tinggi. Dulu kunjungan ke poli HIV-IMS paling hanya 1-2 pasien. Namun di 2017, kunjungan ke Klinik Someah di angka 1.600-an,” ungkap Ning.



Pada 2018, puskesmas dinilai siap melayani ARV untuk pasien HIV stadium 1 dan 2. Baru 2 bulan, sudah ada 18 pasien yang aktif mengambil obat di Ibra.

“Kami menggandeng LSM, menyiapkan waktu untuk pasien HIV, tidak ada diskriminasi, kami berikan konseling obat, konseling buka hasil, konseling kepatuhan ARV. Para petugas kesehatan bisa dikontak kapan pun. Itu prinsip dari Klinik Someah,” ungkapnya.

Petugas kesehatan, sambung Ning, tidak boleh mendiskriminasi atau menstigma pasien HIV. Apalagi tanpa status HIV-nya, populasi kunci HIV-AIDS kerap mendapat stigma negatif seperti LSL (gay) atau waria.

“Pasien kami didominasi gay dan mereka kerap mendapat stigma. Stigma ini kerap membuat pasien sembunyi. Jika itu terjadi, upaya memutus rantai HIV-AIDS, lebih sulit,” ucapnya.

50 Persen Rujukan Hilang

Selain Ibra, ada empat puskesmas di Kota Bandung yang dipersiapkan untuk melayani ARV, yakni Garuda, Pasundan, Kopo, dan Cibiru.

Pelayanan ARV di puskemas dinilai penting, sebab sistem rujukan tidak berjalan optimal. Dari evaluasi di RSHS beberapa waktu lalu, rujukan yang diberikan Ibra hilang 50 persen.

“Kami merujuk 100 orang, yang sampai cuma 50 orang. Mau dilacak, sulit melacaknya,” katanya.

Untuk itu perlu diakukan terobosan, agar angka HIV bisa ditekan.

Kementerian Kesehatan dalam Laporan Perkembangan HIV-ADS & Infeksi Menular Seksual (IMS) Triwulan I Tahun 2018, mencatat, Jabar menduduki posisi ketiga dengan jumlah HIV terbanyak pada Januari-Maret 2018.

Di Indonesia sendiri, jumlah penderita HIV mengalami peningkatakan. Pada 2016 (41.250 kasus), 2017 (48.300), Januari-Maret 2018 (10.506).

Pasien HIV terbanyak dari usia 25-49 tahun sebanyak 71,8 persen, kemudian 20-24 tahun sebanyak 13,8 persen, dan lainnya.

Adapun faktor risiko pada Januari-Maret, yakni LSL atau gay 2.241 orang, heteroseksual 2.137 orang, penasun 127 orang. Faktor risiko ini sama halnya dengan tahun 2017, yakni LSL (11.630), heteroseksual (10.779), dan penasun (832).

Sedangkan Jabar menduduki posisi keenam dari 10 provinsi yang melaporkan jumlah AIDS terbanyak Januari-Maret 2018. Yakni Papua (2.070 kasus), Jatim (984), Jateng (516), DKI Jakarta (239), Sumbar (68), Jabar (65).

Fast Track

Sebenarnya, Ning menunggu surat edaran Kementerian Kesehatan tentang fast track ending AIDS epidemik 2020 keluar.

Surat edaran ini memosisikan HIV sebagai penyakit biasa. Jadi, ketika ia curiga pasien HIV, maka pasien akan langsung tes HIV.

“Sama halnya ketika saya curiga pasien saya tipus, saya akan langsung periksa darahnya,” pungkasnya.

Bersambung: “Bukan HIV yang Membunuh, Tapi Stigma” (3)

https://regional.kompas.com/read/2018/11/06/00330421/bukan-hiv-yang-membunuh-tapi-stigma-2

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke