Salin Artikel

Kisah Korban Likuefaksi: Ramna Dimuntahkan Bumi dan Ibunya yang Terimpit Beton

Ramna mengira akan mati tertelan bumi saat gempa bumi bermagnitudo 7,4 di Sulteng. Namun ia masih diberi kesempatan untuk meneruskan kehidupan ini. Ia selamat bersama sejumlah tetangganya yang kini mengungsi di depan komplek pekuburan Petobo.

Padahal banyak warga Petobo yang menjadi korban likuefaksi, mereka tenggelam dalam tanah yang mereka pijak yang tiba-tiba menjadi lumpur saat digoyang gempa hebat.

“Jika tidak dimuntahkan lagi oleh tanah, saya pasti tenggelam dalam lumpur. Saya bersyukur masih diberi kesempatan hidup,” ujar Ramna sambil mencuci alat masaknya.

Untuk keluar dari bencana ini, ramna mengaku tertolong oleh pohon yang tumbang. Saat ia didesak ke atas oleh tanah dalam rekahan, ia sempat meraih cabang pohon yang tumbang di atasnya. Lewat kayu inilah ia sekuat tenaga berdiri dan keluar dari rekahan tanah.

Setelah berada di atas, secepatnya ia keluar dari “neraka” lumpur Petobo dan mencari tempat yang aman. Untungnya dari tempatnya ini tidak jauh ada lokasi yang aman.

Namun malang bagi mertuanya, Harina (60), wanita bertubuh besar ini terseret dalam puing-puing rumahnya dan meluncur ke bagian bawah.

Di dalam puing ini ia tidak sendiri, ada Rollly (39), anak Harina dan Vini (16) anak Ramna yang tinggal dengan neneknya.

“Rolly memang cacat sejak lama, ia tidak bisa apa-apa dalam menghadapi bencana ini,” tutur Ramna.

Terjebak dalam puing-puing rumah membuat Harina, Rolly dan Vini tidak bisa apa-apa meskipun mereka berusaha keras ingin keluar dari himpitan beton.

Yang tragis adalah, saat terhimpit reruntuhan rumah, ketiga korban bersama material yang menghimpitnya ini hanyut terbawa arus lumpur ke bagian bawah.

Untunglah posisi puing berada di bagias atas sehingga mereka tidak tertimbun lumpur dan puing lainnya.

Malam itu Arifin, anak Harina yang menjadi suami Ramna mencari mereka dalam lumpur yang masih basah. Bersama warga lainnya mereka menyisir puing-puing bangunan yang bercampur lumpur.

Suara erangan kesakitan dan minta tolong bergema di mana-mana, semua berusaha menolong apa yang bisa diselamatkan.

“Saya dapatkan ibu terjebak dalam reruntuhan, ia tidak bisa keluar karena kaki dan badannya terjepit,” kata Arifin.

Rolly dan Vini lebih dulu dievakuasi, dan segera mendapatkan perawatan di tempat yang lebih baik.

Namun nenek Harina masih harus berjuang untuk bisa keluar dari kubangan lumpur yang nyaris menenggelamkan seluruh tubuhnya.

“Ibu saya badannya gemuk, sudah tua, ia sangat lemah,” tutur Arifin.

Jumat malam itu Arifin sekuat tenaga menyingkirkan beton yang menghimpit ibunya, tidak mudah bagi Arifin, apalagi lumpur cair mengubur sebagian besar tubuh orang yang sangat dicintainya ini.

“Dalam fikiran, saya harus menyelamatkan ibu, saya rela mati untuk ibu saya, apapun akan saya lakukan,” tutur Arifin di pengungsian.

Dengan berbagai alat yang dipunyai, ia membongkar sedikit demi sedikit material beton yang mengurung ibunya. Lapar dan haus tidak dihiraukan, semua orang yang menolong keluarganya di sini merasakan yang sama.

Tidak ada bantuan dari manapun, Arifin dan masyarakat Petobo berjuang sendiri-sendiri untuk menyelamatkan keluarganya dari penderitaan yang memilukan ini.

“Semua lapar, termasuk ibu. Saya memberi makan jajanan anak yang berasal dari puing-puing warung yang ikut hanyut tidak jauh dari tempat ibu terjepit,” papar Arifin.

Menjadi pengungsi

Setelah berjuang lama, pada Sabtu sore ibunya bisa dibebaskan dari jepitan material rumah. Ia membawanya ke tempat pengungsian. Dengan tertatih-tatih, Arifin menggendong ibunya. Perjuangan tak kenal lelah berbuah keberhasilan.

24 jam Harina meringkuk tak berdaya di puing-puing rumah bercampur lumpur di Petobo. Ia nyaris putus asa, namun doa terus ia panjatkan agar bisa selamat dari bencana ini.

Ia bahkan telah membayangkan jika akhir hidupnya dalam kondisi seperti ini ia sudah menerima ikhlas, ia seperti menghadapi kematian di samping anak kandungnya yang tengah berusaha menyelamatkan.

Namun kehendak Tuhan berkata lain, doanya dan doa anaknya dikabulkan Tuhan. Ia bisa diselamatkan.

“Jika saya pasrah menerima nasib ini, mungkin ibu saya sudah tak terselamatkan, saya bersyukur,” ujar Arifin.

Tidak ada perawatan bagi Harina, ia hanya dibawa ke tenda pengungsian. Wanita sepuh ini pasrah dengan terluka.

Namun pada Kamis (18/10/2018) siang Harina dijumput petugas kesehatan untuk dibawa ke rumah sakit.

“Ada polisi yang membawa ibu ke Rumah Sakit Bayangkara,” kata Ramna.

Hari-hari Ramna dan Arifin dilalui di tenda pengungsian yang tidak jauh dari pekuburan Petobo. Mereka hidup dari pasokan pangan posko bantuan. Ia tidak sendirian, ada ribuan orang yang mengalami nasib sama, bahkan banyak yang kehilangan anggota keluarganya.

Tempat pengungsian Ramna memang hanya tenda yang didirikan di tanah samping jalan, siapa saja bisa menyinggahi, termasuk sanak saudaranya yang membawa bantuan untuk keluarga ini.

Namun serombongan sapi dan kambing juga sehari-hari menyinggahi tenda-tenda ini, mereka mencari rumput atau kulit pisang yang dibuang pengungsi.

Jika tidak segera dihalau, satwa peliharaan ini bisa menabrak-nabrak tenda, juga membuang kotoran seenaknya di sembarang tempat.

“Kami berharap ibu bisa sehat dan pulih kembali,” kata Arifin.

https://regional.kompas.com/read/2018/10/19/11205991/kisah-korban-likuefaksi-ramna-dimuntahkan-bumi-dan-ibunya-yang-terimpit

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke