Salin Artikel

Perajin Batik Kulon Progo Kesulitan Kelola Limbah

KULON PROGO, KOMPAS.com-Cairan berwarna pelangi pekat dan berbau menggenangi halaman sebuah rumah produksi batik di Dusun Sembungan, Desa Gulurejo, Kecamatan Lendah, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Genangan nyaris menggenangi semua halaman, baik di tengah, samping rumah, sela-sela antar dinding rumah dengan dinding tetangga, hingga belakang sebuah rumah.

“(Limbah) semakin banyak, akhirnya meluber, sampai sekarang tidak teratasi,” kata Hanang, 33 tahun, pemilik industri rumah tangga batik ‘Banyu Sabrang’ di Gulurejo, Selasa (9/10/2018).

Cairan itu limbah yang berasal dari pabrik miliknya yang terus menumpuk berbulan-bulan sejak tahun lalu di halaman rumah.

Hanang bersama istrinya menjadi motor bagi Banyu Sabrang. Mereka bisa memproduksi sedikitnya 25 lembar batik sehari dengan harga minimal Rp 100.000 per lembar atau 1 batik tulis yang diproduksi antara 1-5 lima hari sekali.

Banyu Sabrang salah satu perajin batik yang maju di Gulurejo. Selain Hanang, masih ada puluhan kelompok perajin lain di sana berada di sana sehingga menaikkan pamor desa menjadi sentra batik Kulon Progo. Ribuan orang menggantungkan hidup pada produksi batik ini.

Hanang mulai menekuni batik sejak 2014. Saat itu, Gulurejo sudah naik daun sebagai desa wisata batik. Dengan latar pendidikan dari sekolah seni lukis, Hanang terjun juga ke dunia batik khusus tulis dan cap dengan motif abstrak.

Ia mengawali produksi di rumah milik orang tuanya di perkampungan padat penduduk di Sembungan ini.

Semula, kata Hanang, rumah itu mampu menangani limbah sendiri pada tahun pertama berjalan.

Namun, pesanan batik terus meningkat di tahun-tahun berikutnya berkat pemasaran online.

Sejak itu, ia bisa memasarkan batik rutin ke Jakarta, Surabaya, hingga Makassar di Sulawesi Selatan.

Penjualannya pun bisa tembus Rp 50 juta per bulan saat sedang ramai. Ia bahkan sanggup membuka galeri di lokasi lebih strategis di jalan umum di Gulurejo ini.

Seiring pertumbuhan produksi Banyu Sabrang, Hanang mengakui kesulitan menangani limbah yang dihasilkan dari produksi batik. Hanang mengaku punya semangat untuk membangun sendiri pengolahan limbah itu.

Awalnya cuma membuat tampungan comberan, namun tetap meluap. Kini ia mempertimbangkan membangun instalasi pengolah limbah sendiri di halaman rumah.

Ia menyadari, harganya tidak murah, antara Rp 15-25 juta. Itu pun belum tentu berhasil dan bisa berfungsi baik mengingat banyak perajin batik di Gulurejo juga membuatnya tapi juga kurang berhasil.

Ia pun berharap pemerintah turut campur tangan.

“Apakah bisa pindah ke tempat yang lebih strategis, misal dekat sungai mengingat senior-senior saya juga ada di sana, atau bagaimana,” kata Hanang.


Hanang mengakui mengelola limbah tidak bisa ditunda. Ia sudah menemui tanda bahwa air sumur di rumah produksi itu mulai menguning. Rasa air juga sudah berubah. Air tak lagi layak dikonsumsi. Hanang mengatakan, air sumur terpaksa hanya dipakai untuk mandi.

“Kalau minum kami minta dari tetangga,” kata Hanang.

Tantangan lain terjadi bila musim hujan. Ia mengkhawatirkan kalau limbah batik yang sudah menggenang di halaman samping dan belakang rumah bisa meluber bahkan sampai ke jalanan milik warga.

“Kemarin kalau hujan sampai halaman depan. Tahun depan bisa ke luar,” kata Hanang.

Hanang meyakini sebagian besar pembatik di Gulurejo menghadapi persoalan serupa. Mereka belum sempurna mengatasi limbah.

“Saya berharap pemerintah membantu solusi,” kata Hanang.

Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo mengakui persoalan limbah ini sebagai pekerjaan rumah yang belum juga kelar. Upaya menciptakan pengelolaan limbah batik yang baik sejatinya sudah dirintis sejak lama, belum juga berhasil.

Bupati Hasto berjanji akan meningkatkan upaya pengelolaan yang lebih baik bagi produksi limbah akibat tumbuhnya industri batik ini.

“Kami akan mengoreksi Amdal biar limbah bisa dikelola baik dan tidak mengganggu lingkungan. Konsekuensi dari hidupnya industri rumah tangga adalah pengendalian dari Amdal,” kata Hasto di peresmian padepokan Nithik Chanting di Gulurejo beberapa hari lalu.

Sejauh ini, menurut Hasto, pemerintah sudah melakukan banyak hal, termasuk menjalin kerja sama dengan UGM untuk mengelola Amdal. Namun, semua belum menunjukkan hasil maksimal.

“Akan ditingkatkan. Jangan dilupakan itu,” kata Hasto.

Sekadar diketahui, batik merupakan salah satu andalan industri di Kulon Progo. Perajin batik muncul hingga 38 kelompok di seluruh kabupaten ini. Kecamatan Lendah, utamanya Gulurejo, Sidorejo, dan Ngentakrejo merupakan desa pembatik utama. Ribuan orang bergantung pada bisnis rumah tangga ini.

Dinas Perindustrian dan Pedagangan Kulon Progo mencatat, produksi batik di 2017 saja sampai 120.000 potong. Omsetnya menembus Rp 120 miliar tahun lalu.

https://regional.kompas.com/read/2018/10/09/14463611/perajin-batik-kulon-progo-kesulitan-kelola-limbah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke