Salin Artikel

5 Fakta di Balik "Tembok Berlin" Siti dan Seger, Air Bekas hingga Rebutan Tanah

KOMPAS.com - Hidup bertetangga itu tidak mudah. Kemampuan bertoleransi dan kesabaran menjadi unsur penting untuk bisa selaras dalam hidup bermasyarakat.

Sayangnya, kemampuan tersebut tidak terlihat dari kehidupan dua keluarga yang bertetangga, keluarga Siti Khotijah dan keluarga Seger (61), di Desa Sudimoro, Megaluh, Kabupaten Jombang.

Perselisihan antar kedua keluarga itu berujung dengan tembok pemisah setinggi kurang lebih satu meter di depan pintu masuk rumah Siti dan Abdul karim, suaminya.

Akibatnya, Siti dan keluarganya harus melompati tembok jika ingin keluar masuk rumahnya. 

Berikut sejumlah fakta terkait perselisihan antara Abdul dan Segera.

Kurang lebih enam bulan lalu, Siti Khodijah, isteri Abdul Karim, mencuci kendaraan miliknya di depan rumah.

Air bekas cucian motor Siti ternyata meluber dan menggenangi halaman rumah tetangganya, Seger. Siti tidak menyangka, Seger tidak terima dengan kondisi halaman rumahnya menjadi becek.

Adu mulut pun terjadi di antara mereka berdua. Namun, bukannya saling mengendalikan diri, keduanya justru saling klaim kepemilikan tanah.

Tak berselang lama, Seger tiba-tiba membangun tembok setinggi 1 meter dengan panjang 6 meter, tepat di depan rumah Siti Khodijah dan Abdul Karim itu.

"Awalnya bertengkar. Saya tidak menyangka kalau dia akan membangun tembok di sini," tutur Siti, Selasa (25/9/2018).

Setelah tembok berdiri tegak layaknya "tembok Berlin" di zaman perang dingin, Siti dan keluarganya terpaksa melompati tembok atau melewati gang sempit antara tembok dan rumah kakak Siti.

Upaya perdamaian antara Siti dan Seger pernah dilakukan pengurus kelurahan. Namun, tembok antara rumah Siti dan Seger masih tetap kokoh berdiri.

Akhirnya, Siti lebih memilih meminta tolong kakaknya, Sri Utami, untuk memberikan "jalan" darurat bagi keluarganya.

"Sekarang kalau keluar, lewat jalan di dapur rumah kakak saya," kata Siti.

Seger, saat ditemui di rumahnya, mengaku terpaksa membangun tembok karena jengkel dengan ulah Siti, tetangga sebelah rumahnya.

Menurut Seger, Siti kerap kali menyebut tanah yang kini dipagari tembok adalah lahan milik orangtuanya yang dikuasai Seger. Padahal, kata Seger, lahan tersebut adalah miliknya.

"Awalnya terus memusuhi saya. Saya jengkel, saya dimaling-malingkan (disebut pencuri tanah), terus dimaling-malingkan. Bukan satu dua bulan, sampai tujuh bulan," katanya.

Soal kemungkinan membongkar tembok yang mengurung rumah Siti, Seger menyatakan peluang itu terbuka.

Perselisihan Seger dan Siti sudah berlangsung selama kurang lebih enam bulan. Seger saat ditemui di rumahnya sebetulnya bersedia meruntuhkan tembok yang dia bangun di depan rumah Siti, asalkan Siti mau mengubah perilakunya.

"Tapi ada syaratnya. Tidak boleh mengolok-olok saya. Terus, saya minta lagi, yang menyulitkan gerobak saya masuk dibongkar," katanya.

"Itu permintaan saya. Kalau setuju ya buat perjanjian," lanjut Seger sembari menyatakan siap membongkar tembok agar Siti bisa memasuki rumahnya.

Sekretaris Desa Sudimoro, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, Choliq mengatakan, upaya mediasi antar kedua belah pihak sebenarnya sudah dilakukan.

"Langkah mediasi sudah dilakukan tapi tidak ada hasil. Sebenarnya dari desa itu sudah menyarankan jangan (ditembok)," ungkapnya.

Menurut Choliq, konflik antar-tetangga itu salah satunya terkait dengan klaim kepemilikan lahan. Siti menyebut tanah di depan rumahnya adalah milik keluarganya.

Namun, klaim Siti itu dibantah Seger yang menyatakan tanah di depan rumah Siti adalah miliknya.

Konflik lahan tersebut saat ini sedang dalam proses sengketa di pengadilan.

Sumber: KOMPAS.com (Moh.Syafii)

https://regional.kompas.com/read/2018/09/26/17135801/5-fakta-di-balik-tembok-berlin-siti-dan-seger-air-bekas-hingga-rebutan-tanah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke