Salin Artikel

Kisah Menristek Dikti Kesulitan Cetak Dokter di Daerah Terluar

SEMARANG, KOMPAS.com – Problem pelayanan kesehatan di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) di Indonesia diakui masih sangat tidak layak. Salah satunya karena penyediaan tenaga kesehatan yang belum tersedia dengan baik di daerah-daerah tersebut.

Hal itu disampaikan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M Nasir saat menjadi keynote speech "Relevansi Pendidikan Dokter untuk Mendukung Penyebaran Dokter ke Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T)” di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Rabu (19/9/2018).

Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang itu mengatakan, hingga saat ini untuk menciptakan dokter berkualitas di daerah terluar masih sangat sulit dilakukan.

Ada sejumlah kendala yang meski dituntaskan, baik itu sumber daya manusia, infrastuktur hingga pelayanan kesehatan itu sendiri.

“Itu problem saya hadapi, kalau buka di daerah 3T itu kendala banyak, mulai SDM, infrastruktur, layanan akademik. Jalan keluarnya, perguruan tinggi yang berkualitas di Jawa-Bali untuk membantu di daerah terkait,” kata Nasir, ketika dikonfirmasi seusai acara.

Dikatakannya, untuk membentuk tenaga kesehatan terutama dokter, tidak mudah. Calon dokter yang belajar di kampus-kampus besar di wilayah Indonesia timur banyak yang tidak lulus. Presentase kelulusan bahkan masih di bawah 50 persen.

Berdasarkan data Kemenristek Dikti 2014-2017, persentase kelulusan di fakultas kedokteran masih di bawah 50 persen salah satunya terjadi di Universitas Cenderawasih. Fakultas Kedokteran di kampus itu tercatat sudah terakreditasi B.

“Namun, persentase lulus kampus baru 28,3 persen,” kata Nasir.

Oleh karena itu, bagi mereka yang tidak lulus, maka tidak bisa berpraktek sebagai dokter.

“Mereka jadi dokter, tapi enggak bisa praktek nyuntik jika enggak lulus,” ujarnya.

Nasir menambahkan, problem di daerah terluar tidak hanya lulusan. Ia pun mengaku belajar dari kegiatan sarjana mengajar di daerah terluar, terdepan dan tertinggal (SM3T).

Menurut dia, para pengajar yang telah ditugaskan di daerah terluar kerap terkendala karena ongkos yang mahal. Para sarjana mengajar hanya 1 minggu dalam 1 bulan.

“Cerita dari SM2T ketika mengajar minggu pertama itu penuh, tapi minggu berikutnya kosong. Ditanya mengapa tidak mengajar sekolah? Mereka jawab, gajinya habis, jadi enggak bisa ngajar. Dalam 1 bulan, ada 1 minggu Ngajar, sisanya mereka enggak sekolah,” tandasnya.

Untuk penyediaan dokter, Nasir berjanji akan meningkatkan kerjasama dengan Menteri Kesehatan agar persoalan layanan kesehatan teratasi.

“Uang saku karena sedikit, sementara biaya mahal itu juga jadi masalah, banyak problem. Saya sudah bicara dengan Kemenkes, kami ingin solusinya daerah terluar mendapat pelayanan yang baik, dokter ada di sana,” tambahnya. 

https://regional.kompas.com/read/2018/09/19/18155381/kisah-menristek-dikti-kesulitan-cetak-dokter-di-daerah-terluar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke