Salin Artikel

"Saya Sempat Berpikir Mati, sebab Kami Diperlakukan seperti Tawanan"

Mereka diselamatkan di perairan Nongsa, Batam, Kepulauan Riau oleh tim F1QR Lanal Batam.

Runawi mengaku sangat kecewa dengan agen yang ada di Malaysia yang mempekerjakan dirinya.

"Jujur saya sangat kecewa sekali dengan agen yang di Malaysia, mereka tidak jujur membantu kepulangan saya ke tanah air," kata Runawi ditemui di dermaga Lanal Batam.

Kepada Kompas.com, Runawi mengaku mengeluarkan uang hingga Rp 9 juta agar bisa pulang ke tanah kelahirannya.

"Awalnya saya pikir pulangnya seperti saat saya pergi ke Malaysia, ternyata sangat sengsara. Selain berhari-hari di dalam hutan, untuk naik ke speedboat, kami harus masuk ke laut hingga pakaian kami basah kuyup," jelas Runawi.

Runawi mengaku, dengan kejadian ini dirinya sama sekali tidak mengantongi uang sepeserpun saat balik ke Situbundo.

"Saya kerja digaji sebulan hanya 810 ringgit atau Rp 2,9 juta, belum lagi biaya makan dan biaya tempat tinggal. Ditambah kejadian seperti ini, sangat menderita sekali yang saya rasakan," katanya.

Hal senada diungkapkan Liskawati (38), TKI lainnya. Ia mengaku terpaksa mengikuti jalur gelap karena ditakut-takuti agen yang ada di Malaysia.

"Saya baru 1 tahun 2 bulan di Malaysia, bahkan paspor saya masih aktif. Hanya saja saya ditakut-takuti agen karena permit saya tidak dikeluarkan mereka, makanya saya ikut jalur tak resmi ini," imbuh Liskawati.

Untuk bisa pulang ke tanah kelahirannya di Bandung, ia mengekuarkan uang 1.500 ringgit atau Rp 5,5 juta.

"Tapi pas di speedboat kami juga dimintai lagi uang Rp 700.000. Kata yang bawa speedboat, uang untuk pemilik pelabuhan," jelasnya.

Sama seperti Runawi, Liskawati mengaku sempat seharian di hutan sebelum akhirnya naik speedboat yang menjemputnya dari tanah laut.

"Saya sempat berpikiran mati, sebab kami sudah diperlakukan seperti tawanan. Masuk ke laut dan setelah itu baru naik ke speedboat. Bahkan di speedboat kami juga rela harus berdesak-desakan dengan kondisi seluruh pakaian kami basah kuyup," ungkapnya.

Liskawati mengatakan, yang akan pulang menggunakan jalur gelap bukan hanya 40 orang. Ada 100 orang lagi yang akan pergi. Mereka dipecah menjadi dua kelompok. 

"Kebetukan kelompok kami duluan yang disuruh bergerak dan selanjutnya ada kelompok kedua. Cuma saya tidak tahu mereka selamat apa nasibnya sama seperti kami juga, tertangkap aparat," ungkapnya.

Sementara itu Komandan Pangkalan TNI AL Batam Kolonel Laut (E) Iwan Setiawan mengatakan, TKI Ilegal yang berhasil diselamatkan berjumlah 40 orang. Terdiri dari 31 laki-laki dan 9 perempuan.

"Bahkan satu perempuan yang kami selamatkan sekitar pukul 3.30 WIB di perairan Sekilak, Nongsa, Minggu (16/9/2018) dini hari dalam keadaan hamil," kata Iwan.

Iwan menjelaskan, penyelamatan ini berawal dari informasi Intelijen bahwa akan ada aktivitas pemulangan TKI illegal dari Malaysia dengan tujuan Batam yang diduga membawa narkoba.

Dari sana Tim F1QR Lanal Batam dengan menggunakan Patkamla Sea Rider 2 Lanal Batam melaksanakan patroli penyekatan di beberapa titik yang kemungkinan akan dilalui kapal pengangkut TKI ilegal tersebut.

"Akhirnya speedboat tersebut diamankan di Perairan Sekilak, Nongsa, Batam. Namun dua orang pembawa speedboat berhasil melarikan diri. Sampai saat ini masih dilakukan pengejaran," jelasnya.

Selanjutnya, speedboat tanpa nama beserta muatan TKI ilegal dibawa menuju dermaga Lanal Batam untuk proses lebih lanjut.

Setibanya di dermaga Lanal Batam, dilanjutkan pemeriksaan terhadap para TKI ilegal serta barang bawaannya untuk mengetahui apakah ada narkoba yang dibawanya.

"Berdasarkan penyelidikan awal diketahui bahwa pemilik speedboat tersebut adalah berinisial A yang berdomisili di Tanjung Uban, Bintan," imbuh Iwan.

Selanjutnya 40 TKI ilegal yang berhasil diselamatkan ini akan dikoordinasikan lebih lanjut dengan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI), sebagai instansi yang berwenang menanganinya.

"Sedangkan dugaan pelanggaran yang dilakukan pemilik speedboat dan pembawanya adalah tindak pidana pelayaran dan perlindungan pekerja imigran Indonesia," tutupnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/09/17/14395891/saya-sempat-berpikir-mati-sebab-kami-diperlakukan-seperti-tawanan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke