Salin Artikel

Kisah Warga Terpencil yang Langganan Konsumsi Air Keruh Saat Kemarau

Selama ini, program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dinilai belum efektif untuk membantu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat wilayah pelosok di Grobogan.

Salah satu penyebab kegagalan itu yakni sumber air tanah. Hal itu merujuk pada riset geologi yang menyebut wilayah Kabupaten Grobogan adalah kawasan yang minim pasokan air tanah.

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperakim) Grobogan, M Chanif mengatakan, di Kabupaten Grobogan tercatat ada 273 desa dari 19 kecamatan.

Adapun program Pamsimas yang berlangsung sejak 2008 sudah berjalan di 150-an desa di Grobogan.

Melalui Pamsimas sudah terealisasi sumur, tandon, jaringan, dan sambungan (satu paket instalasi pamsimas) di setiap desa. Satu paket Pamsimas dianggarkan Rp 300 juta.

"Namun karena minimnya sumber air tanah, masih banyak desa yang tak terjangkau Pamsimas. Bahkan saat ini 20 persen mangkrak karena sumber air tanahnya habis," tutur kata Chanif kepada Kompas.com, Selasa (14/8/2018).

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Grobogan, 82 desa yang ada di 12 kecamatan Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, mengalami krisis air bersih akibat kemarau.

Tercatat, permintaan droping air bersih dari puluhan desa itu sudah berlangsung sejak awal Juni.

"Sejauh ini kami sudah melakukan droping air bersih menggunakan truk tangki sebanyak 57 kali. Musim kemarau di Grobogan baru memasuki 2 bulan ini," ujar Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Grobogan, Budi Prihantoro.

Berburu Air

"Selain mengandalkan suplai air bersih, warga juga mencari sumber mata air di sungai, sawah, dan sumur buatan," tutur Budi.

Satu di antara desa di Kabupaten Grobogan terdampak kemarau yang sangat memprihatinkan yaitu Desa Keyongan, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan.

Lokasi desa ini terpencil dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Sragen, Jateng.

Membutuhkan waktu 2 jam perjalanan darat dari Purwodadi untuk mencapai lokasi ini. Infrastruktur menuju lokasi juga kurang memadai dengan membelah kawasan hutan.

Sumur tadah hujan andalan warga setempat telah kering, habis cadangan airnya. Bahkan, sungai satu-satunya harapan warga, debit airnya menyusut tak bersisa. Krisis air bersih sudah menjadi langganan warga saat kemarau.

Hampir empat bulan ini, warga Desa Keyongan beramai-ramai berburu air bersih. Mereka terpaksa menggali tanah di dasar sungai setempat yang telah mengering itu.

Tanah dilubangi selayaknya sumur dengan kedalaman dan diameter yang bervariasi. Warga biasa menyebutnya "belik".

Warga bertaruh nasib mencari sumber air bersih yang kemungkinan masih tersisa di dasar sungai yang telah menjadi daratan itu.

Liang-liang ciptaan itu perlahan digenangi air. Air kemudian diciduk menggunakan gayung atau ditimba dengan ember untuk kemudian diisikan ke dalam jeriken.

Untuk memenuhi satu jeriken ukuran 40 liter, dibutuhkan waktu paling cepat 10 menit. Jeriken diangkut menggunakan motor hingga digendong. Maksimal jaraknya ke rumah ada yang sampai 2 kilometer.

Di alur sungai yang gersang itu, warga sudah membuat sejumlah belik yang bisa menampung resapan air sungai.

Setiap belik dimanfaatkan ribuan warga secara bergiliran. Meski airnya keruh, tidak ada pilihan lain, warga tidak mempersoalkannya. Setiap malam, belik ditutup menggunakan pintu kayu.

Konsumsi Air Keruh

"Kalau tidak hati-hati, airnya semakin keruh mas. Kami harus pelan-pelan mengambil airnya," kata Kuspriyati kepada Kompas.com.

Nenek renta ini mengaku sudah hampir empat bulan menghabiskan sebagian waktunya untuk bolak-balik menuju belik. Jarak tempuh dari rumah ke belik sekitar 1 kilometer.

Air dari belik ia gunakan untuk keperluan mandi, mencuci, dan buang air. Bahkan, petani ini mengaku jika air dari belik juga ia konsumsi bersama keluarga. Kuspriyati tinggal bersama suami dan dua orang anaknya yang juga seorang petani.

"Kalau kemarau andalan kami ya belik. Bagi saya orang kecil, membeli air untuk minum aja susah. Jadi air dari belik yang saya minum setelah saya simpan di gentong. Dari pagi sampai siang saya bolak-balik ke belik sebelum menyusul ke sawah," kata Kuspriyati.

Kuspriyati tak sendiri. Sejumlah warga juga terlihat ikut mengambil air di belik. Bahkan banyak anak-anak yang membantu orangtuanya mengambil air di belik sebelum berangkat sekolah.

"Sebelum sekolah, kami ambil air sendiri untuk mandi. Kasihan ibu kecapekan," kata Risanto, siswa kelas 6 SDN Keyongan.

Belum Direspons

Sementara itu Kepala Desa Keyongan, Budi Hartono menyampaikan, krisis air bersih imbas dari kemarau melanda desanya sejak Mei lalu.

Instalasi Pamsimas yang berlangsung di desanya sejak 2009 hanya mampu mengaliri air bersih kepada sedikitnya 100 kepala keluarga (KK). Padahal di desanya tercatat ada 1.800 KK.

"Debit air yang diambilkan dari sendang desa sebelah tak mencukupi dan bahkan 3 tahun lalu sudah menyusut kandungan air tanahnya," katanya"

"Sumur tadah hujan dan sungai lah harapan mereka. Namun saat kemarau, warga berburu air dengan membuat belik di sungai yang mengering," tambahnya.

Pihak desa sudah berupaya melaporkan krisis air bersih di desanya kepada Pemerintah Kabupaten Grobogan. Hanya saja belum ada respons dari Pemkab Grobogan.

"Sejauh ini belum ada bantuan droping air dari pemerintah, padahal kami sudah berupaya melaporkan. Kami berharap ada perhatian dari pemerintah. Kasihan warga," kata Budi.

https://regional.kompas.com/read/2018/08/15/12270711/kisah-warga-terpencil-yang-langganan-konsumsi-air-keruh-saat-kemarau

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke