Salin Artikel

Tumbilotohe dan Bayang-bayang Kemiskinan di Gorontalo

Hasil kreasi tersebut juga diabadikan dengan menggunakan kamera drone (pesawat tanpa awak) seihngga semarak warna-warni dan pola lampu hias menjadi menarik untuk dilihat.

Tradisi tumbilotohe diperkirakan sudah ada sejak Islam dipeluk bangsa Gorontalo. Selain menyambut lailatul qadri, memasang lampu dengan obor di masa lalu bertujuan menerangi penduduk menuju masjid. Mereka ini akan melaksanakan ibadah tarawih dan tadarus.

Para pedagang yang menyiarkan Islam di Gorontalo memberi petunjuk cara melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Kondisi pemukiman kala itu masih berjauhan dan dikelilingi pepohonan (oayua, hutan). Penyiar agama Islam meminta penduduk untuk memasang obor di jalan setapak menuju masjid.

Tohe tutu

Di masa lalu, damar atau getah kayu yang harum digunakan untuk menerangi jalan, lantas dilingkari dengan lidi dan disulut. Penerangan ini disebut tohe tutu.

Penerangan lain dengan menggunakan bahan baku dari buah pepaya bulat yang masih muda, kemudian dilubangi dan diberi kapas. Bahan bakarnya minyak kelapa.

Penduduk yang tinggal di pesisir lain lagi. Mereka menggunakan bahan baku atau wadah dari laut untuk membuat penerangan, yakni cangkang dari jenis kima atau bia (moluska). Wadah ini menggunakan bahan bakar minyak kelapa dicampur air.

Dekorasi tumbilo tohe terus mengalami perkembangan. Mulanya, hanya sebuah palang dan tiangnya yang dihiasi dengan polohungo (bunga dayoh), tabongo mela (bunga merah) dan moidu (hijau) serta lampu damar.

Pola dekorasi dan hiasan bertambah. Modelnya seperti gapura, yang ditempatkan di depan jalan masuk ke rumah.

Gapura ini terbuat dari bambu dengan bahan lainnya berupa janur, polohungo, tabongo mela (bunga merah), serta moidu (hijau), patodu (tebu), dan pisang. Bahan-bahan ini memiliki simbol atau perlambang.

Janur perlambang kebesaran adat, polohungo adalah hiasan yang disukai bidadari. Tabongo mela dan moidu sebagai penahan pantangan dari gangguan iblis dan syetan, serta niat jahat.

Adapun patodu melambangkan rezeki dan makanan kemakmuran. Pisang menjadi simbol rezeki. Tohe tutu sebagai penerang di jalan.

Selain lampu, masyarakat juga membuat alikusu (arkus) atau gapura adat. Alikusu mempunyai dua bentuk, satu atau dua tingkat, yang menandakan strata sosial seseorang.

Di dalam gapura adat yang menggunakan bahan bahan baku bambu, dihiasi dengan pisang, tebu, dan bunga.

Gapura dua tingkat biasanya dibuat di depan masjid atau rumah-rumah keluarga raja, bangsawan dan pembantunya, sedangkan yang satu susun untuk rakyat.

Kreasi tumbilotohe terus mengalami perkembangan dalam dekorasi dan variasi. Lampu-lampu penerang sudah menggunakan bahan bakar minyak tanah, lampion, dan lampu hias dengan aliran listrik.

Lampu-lampu tidak hanya menghiasi pinggir jalan, tetapi juga di lapangan, halaman rumah, sawah dan lokasi lain.

Sebuah tradisi yang lama melekat akan terus dipercaya, seperti halnya tumbilotohe. Seperti digambarkan dalam tayangan di Kompas TV dan RTV, terlihat suasana semarak keindahan dan keunikannya.

Kemiskinan

Namun, semarak tumbilo tohe ini belum sejalan dengan kehidupan penduduknya. Sejak lepas dari Sulawesi Utara dan menjadi provinsi sendiri 18 tahun lalu, Gorontalo masih dalam bayang-bayang kemiskinan.

Angka kemiskinan di Gorontalo masih tercatat 17,63 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk miskin secara nasional.

Karena itu, Presiden Joko Widodo menyoroti dan mengingatkan masalah kemiskinan di Gorontalo (Kompas [6/6/2017], Kontan [6/6/2017], dan Republika [7/6/2017]).

Jokowi mengatakan, berdasar data yang dimilikinya, tingkat kemiskinan di Gorontalo mencapai 17,63 persen dari total penduduk daerah tersebut.

Di sisi lain, tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut sepanjang 2016 berhasil menembus 6,52 persen atau jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sekitar 5 persen.

"Ini peringatan, pertumbuhan ekonomi tinggi saja ternyata belum cukup atasi kemiskinan," kata Presiden.

Atas dasar itulah, Jokowi meminta kepada pemerintah daerah Gorontalo untuk memaksimalkan upaya pengentasan penduduk dari kemiskinan.

Nilai-nilai

Sejak dulu hingga kini, tumbilo tohe masih memiliki nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, saling membantu, dan kegembiraan. Nilai-nilai ini di Gorontalo dikenal dengan huyula atau kerja sama sosial tanpa pamrih, ikhlas berkorban, dan mendahulukan kepentingan umum.

Selain itu, hubungan ini memiliki nilai awota atau persaudaraan, rasa menyatu. Bilohe atau rasa persaudaraan. Hiimbunga atau kelompok orang bekerja sama dan heayia atau sumbang menyumbang ketika masyarakat melaksanakan hal yang menggembirakan.

Nilai-nilai ini seharusnya menjadi modal dalam menggerakkan kehidupan yang lebih baik di Gorontalo. Namun, nilai-nilai ini tidak utuh dan hanya pada perayaan tertentu, seperti pada tumbilotohe.

Mengapa pemerintah di daerah mampu membuat tumbilotohe yang begitu semarak, tetapi belum mampu mengentaskan kemiskinan di Gorontalo?

Setiap tahun ada tumbilo tohe, tiga hari sebelum perayaan Idul Fitri. Biaya yang habis untuk kegiatan ini miliaran rupiah. Biaya ini ada yang dianggarkan pemerintah di daerah, ada pula partisipasi warga.

Tanpa menghilangkan makna dan nilai-nilai tumbilotohe, bagaimana bila biaya tumbilotohe tersebut digunakan untuk pengentasan kemiskinan di Gorontalo?

https://regional.kompas.com/read/2018/06/17/08562731/tumbilotohe-dan-bayang-bayang-kemiskinan-di-gorontalo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke