Salin Artikel

Ngabuburit di Masjid Agung Karawang, Masjid Tertua di Jawa

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, masyarakat datang menjelang buka puasa. Mereka juga berziarah ke Makam Syekh Quro dan Syekh Abdurahman yang terletak di belakang masjid.

"Setiap malam Jumat ada tawasul khusus di makam Syekh Quro, Syekh Abdurahman, dan para pengikutnya, serta bupati Karawang sebelumnya," ungkap Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Agung Karawang, Acep Djamhuri, Senin (4/6/2018).

Seperti diketahui Syekh Quro atau Syekh Hasunudin bin Yusuf Sidik merupakan pendiri Masjid Agung Karawang dan penyebar Agama Islam di Karawang.

Hanya saja, kata Acep, hingga kini belum diketahui secara persis lokasi Syekh Quro dimakamkan. Sebab, terdapat pula Makam Syekh Quro di Kampung Pulobata, Desa Pulokelapa, Kecamatan Lemahabang, Karawang.

"Konon katanya dimakamnkannya belum jelas. Apakah di Masjid Agung atau di sana (Pulobata). Yang jelas kalau menurut kebanyakan orang dan hasil riyadoh, petunjuk, dari Syekh Toha dari Cirebon, bahwa sesungguhnya di Pulobata tempat berkholwatnya para waliyullah penyebar agama Islam di Karawang, Syekh Quro, sampai akhir hayat," terangnya.

Selama Ramadhan ini, hampir 1.000 orang menyambangi Masjid Agung Karawang, baik untuk wisata ziarah, ngabuburit, buka puasa bersama, dan ibadah.

"Kami berupaya agar masyarakat nyaman beribadah di masjid ini," katanya.

Sejarah Masjid Agung Karawang

Secara histori, Masjid Agung Karawang disebut-sebut sebagai masjid paling tua di Pulau Jawa. Masjid ini didirikan pada tahun 1418 masehi oleh Syekh Hasunudin bin Yusuf Sidik ulama atau Syeh Quro. 

“Masjid ini lebih tua dibandingkan dengan Masjid Agung Cirebon (1475 masehi) dan Masjid Agung Demak (1479),” kata Acep.

Syekh Quro, kata Acep, tiba bersama rombongan sahabatnya, di antaranya adalah Syekh Abdurahman dan Syekh Maulana Darugem atau Syekh Gentong. Para ulama tersebut datang menggunakan perahu dagang melalui Sungai Citarum dan berhenti di pertemuan Sungai Cibeet dan Citarum, yang merupakan pelabuhan Sundapura atau saat ini dikenal dengan Tanjungpura.

"Dahulu, Sungai Citarum bisa dilewati kapal-kapal besar. Penjelajah Portugis menyebut Karawang ini sebagai karavan karena antrean kapal-kapal besar. Syekh Quro berhenti di sana dan kemudian tidak jauh dari pelabuhan mendirikan Masjid Agung dan pesantren,” terangnya.

Saat dibangun, masjid ini berukuran 9x9 meter. Hingga saat ini sudah mengalami beberapa kali perombakan.

Bentuk Awalnya, menurut Acep, memiliki kesamaan dengan Masjid Agung Cirebon dan Demak, yakni pada bangunan joglo bertiang utama (saka guru) empat dan bentuk atap limas bersusun tiga undak. 

Dia menjelaskan, masjid ini pernah mengalami perombakan sebanyak tiga kali, di antaranya adalah pada zaman Bupati Adipati Singaperbangsa, Raden Mangku Tohir Mangkudijoyo, kemudian dibenahi kembali pada zaman Bupati Sumarno Suradi atas persetujuan para ulama dengan luas 2.230 meter.

“Insya Allah pada pemerintahan Bupati Cellica akan benahi ke depan, termasuk kompleks pemakamannya. Sehingga, nanti orang yang berdoa yang berziarah juga lebih representatif," tandasnya.

Wisata religi

Acep menambahkan, rencananya Pemkab Karawang akan menjadikan Masjid Agung Karawang sebagai salah satu destinasi wisata religi.

Fasilitas masjid akan dibenahi, termasuk Alun-alun Karawang yang letaknya tepat di depan Masjid Agung Karawang. Bahkan, di halaman masjid, akan disediakan ruang publik bagi pecinta shalawat.

"Baik itu syekhermania (komunitas pecinta shalawat) maupun lainnya. Kita siapkan ruang untuk pentas hadroh dengan shalawat setiap malam minggu," tandasnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/06/04/15382351/ngabuburit-di-masjid-agung-karawang-masjid-tertua-di-jawa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke