Salin Artikel

Sinyal dari Korban Anak Pelaku Teror

KENAPA saya katakan sinyal? Secara eksklusif saya menemukannya. Saya mendatangi sekolah anak Dita Oepriarto, pelaku teror.

Dari seorang guru di seolah itu, saya mendapat informasi mengenai akun mendia sosial si anak itu. Ada sinyal yang sudah disampaikan anak itu beberapa bulan sebelumnya.

Ada empat korban anak pelaku teror yang masih hidup. Mereka secara intensif dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara, Polda Jawa Timur.

Tidak hanya luka tubuh, jiwa mereka juga terguncang luar biasa. Saya mendatangi mereka tanpa kamera, tapi tidak bisa langsung berkomunikasi.

Mereka dijaga super ketat. Tempat mereka dirawat pun dirahasiakan.

Saya mendapat informasi dari Kepala Tim Psikolog Kasus Bom Surabaya AKBP Said Rifai, ada anak yang tidak mau makan beberapa hari. Tim dokter terpaksa menggunakan infus untuk menyuplai makanan kepada sang anak.

Beruntung kondisinya sudah semakin stabil dari hari ke hari meski perlu perawatan trauma karena peristiwa yang dialaminya sungguh luar biasa. Usianya masih di bawah 10 tahun.

Unggahan janggal siswa kelas 11 SMA

Saya meminta informasi terkait media sosial yang dimiliki anak sulung Dita Oepriarto yang berusia 18 tahun. Dita adalah ketua JAD Surabaya. Ia bersama istri dan empat anaknya adalah pelaku utama bom di tiga gereja di Surabaya beberapa waktu lalu.

Anak sulung Dita adalah pengendara sepeda motor yang meledakkan diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Jawa Timur.

Sepintas, nyaris tak ada satu pun tanda di salah satu akun media sosialnya. Sampai saya menemukan sebuah foto dengan nuansa gelap dan bertulis, “...So Much…Won’t Leave it…”

Saya tanyakan, kepada Sang Guru, foto apa yang diberi caption olehnya.

Guru itu menjawab, “Itu foto sekolah kami di sini.”

Saya kembali bertanya, apakah ia melihat kejanggalan itu? Ia menjawab, tidak melihat kejanggalan apa pun.

Saya coba menganalisis, jika ia tidak ada rencana pindah sekolah, tentu menjadi janggal, karena tulisan itu menunjukkan ia tidak ingin meninggalkan sekolahnya. Anak itu baru duduk di kelas 11, bukan kelas 12 yang hendak lulus.

Mungkinkah ada tekanan batin yang terjadi padanya karena sebuah paksaan dari luar untuk meninggalkan sekolahnya?

Foto itu tercatat diunggah pada 3 Februari 2018, tiga bulan sebelum kejadian.

Satu-satunya korban hidup, sebatang kara

Salah satu yang juga menjadi perhatian adalah korban anak pelaku terduga teroris di kantor Polrestabes Surabaya, Jawa Timur, yang berusia 8 tahun.

Ia menjadi satu-satunya korban hidup. Ia duduk di depan di sepeda motor yang dikendarai ayahnya. Kakaknya membonceng di belakang.

Diduga, bom diletakan di antara ayah dan kakaknya. Saat bom meledak, ia terpental, tidak terluka parah. Ledakan bom tidak mengenai dirinya karena meledak di antara tubuh kakak dan ayahnya.

Penyelamatan heroik

Selain ayah dan kakaknya, ibu dan kakaknya yang lain juga tewas. Satu motor lagi yang dikendarai ibu dan kakaknya yang lain juga membawa bom. Bom yang dibawa dua motor ini meledak di depan pintu penjagaan Mapolrestabes Surabaya.

Keluarga ini membawa bom jenis TATP (Triacetone Triperoxide) yang sering digunakan kelompok ISIS dan disebut Mother of Satan karena bentuknya kecil namun berdaya ledak tinggi (high explosive).

Jasad ayah, ibu, dan kakak-kakaknya tidak utuh.

Sesaat setelah ledakan, bocah perempuan ini berdiri dan berjalan terhuyung. AKBP Roni, polisi yang berada di lokasi kejadian, berlari menghampiri bocah itu dan menggendongnya menjauh titik ledakan. Ia khawatir akan ada ledakan susulan.

Roni mengaku, ia sadar betul bahwa saat itu ia menyalahi prosedur. Ia paham betul soal prosedur ini. Ia pernah bertugas di Satuan Gegana Brimob saat Darurat Militer di Aceh selama beberapa tahun pada 2013.

Menurut prosedur, saat ledakan terjadi, tidak boleh ada yang mendekat ke titik ledakan. Bisa jadi, akan ada ledakan susulan.

Namun, Roni mengungkapkan, ia spontan berlari dan menggendong si bocah perempuan tadi. Ia teringat anaknya yang seusia bocah perempuan itu. Nurani menggerakkan Roni.

Kepada saya secara eksklusif,  ia menyampaikan, benar saja bahwa masih ada satu bom yang belum meledak.

Berbekal pengalamannya sebagai Tim Gegana, ia langsung melakukan pendinginan di lokasi dan mengevakuasi seluruh korban yang masih hidup, di antaranya seorang warga di dalam mobil Avanza yang hendak mengurus surat.

Saat ledakan terjadi, mobil Avanza itu persis berada di samping dua motor pelaku. Usai ledakan, ada satu bom yang terlempar dan ditemukan persis di kolong mobil Avanza.

Bayangkan jika mobil itu meledak saat Roni berlari mendekat demi menyelamatkan bocah perempuan itu?

Cerita Roni akan tayang secara ekslusif di program Aiman, Senin (21/5/2018) pukul 20.00.

Luka tubuh, terlebih jiwa

Anak perempuan itu kini sendiri, sebatang kara, tanpa ayah, ibu, dan kakak-kakaknya. Ia menderita patah tulang di bagian bahu, kemungkinan karena benturan dengan setang sepeda motor saat ledakan terjadi.

Namun, selain fisik, ada luka yang lebih parah: jiwanya. Ia berada di dalam rangkaian kekerasan yang merenggut nyawa.

Ia berada dalam lingkaran logika yang mengizinkan pembunuhan kepada mereka yang berada di luar kelompoknya.

Ada pekerjaan rumah besar untuk mengeluarkannya dari cara berpikir demikian.

Saya Aiman Witjaksono.
Salam.

https://regional.kompas.com/read/2018/05/21/09524121/sinyal-dari-korban-anak-pelaku-teror

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke