Salin Artikel

Perjuangan Dua Warga Pinogu Gorontalo Selamatkan Maleo dari Kepunahan

Kedua warga Desa Pinogu ini dengan sangat hati-hati memegang dan mengangkat telur maleo yang besarnya 5 kali telur ayam ini. Mereka tidak ingin telur ini pecah atau retak akibat benturan atau jatuh.

Telur-telur lonjong besar ini kemudian dimasukkan ke tanah lembut yang telah digalinya di dalam tempat penetesan yang berdinding bambu.

“Kami memindahkan ke sini agar tidak dimangsa soa-soa atau biawak, juga para pemburu telur,” ujar Ka Jaka (64) diamini Ka Madi (41), Rabu (4/4/2018).

Pemindahan ini dilakukan secara swadaya oleh pelestari maleo dari Desa Pinogu untuk menghindari preadator alami yang sering memangsa atau pemburu telur yang tidak bertanggung jawab.

Mereka mengaku terpanggil untuk melestarikan burung maleo agar tidak punah di tanah mereka, karena burung ini hanya mau bertelur di tanah yang ada panas buminya, dan kawasan ini tidak banyak.

Kedua orang ini tinggal Kecamatan Pinogu, satu permukiman tua yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).

Tidak ada jalan menuju Pinogu selain jalur tikus di tengah rimba belantara yang biasa ditempuh warga dengan jalan kaki selama 8-9 jam menuju desa terluar.

Keinginan mengelola ladang peneluran maleo ini lalu disampaikan kepada Taufik Najamuddin, petugas Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) 1 Limboto.

Gayung bersambut. Mereka mendapat dukungan dari Bagus Tri Nugroho, kepala SPTN 1 Limboto yang membawahi wilayah taman nasional Bogani Nani Wartabone di Gorontalo. Mulai Desember tahun lalu, kegiatan mereka dimulai.

Tanah lembut belantara Pinogu ini bersuhu hangat, di dalam tanah ini telur-telur maleo ditimbun untuk ditetaskan. Tidak ada induk yang mengeram, telur ini pasrah dierami panas bumi hingga hari ke-60 untuk menetas.

Di luar tempat penetesan, telur yang sudah dalam tanah kadang-kadang digali oleh biawak atau pemburu. Ini yang dikhawatirkan 2 warga Pinogu tersebut.

Selamatkan telur maleo

Sejak Desember tahun lalu, warga Pinogu ini dengan suka rela berusaha menyelamatkan telur maleo di alam.

Mereka bekerja pertama kali memindahkan telur pada tanggal 19 Desember. Pekerjaan ini dilakoni dengan rasa tulus ikhlas menyelamatkan burung endemik Sulawesi dari kepunahan. Mereka sadar burung ini tidak seperti burung pada umumnya yang bisa bertelur dan mengeram di sembarang tempat.

Khusus maleo ini, mereka paham benar ruang kehidupan yang bergantung pada panas bumi untuk menitipkan telurnya pada alam. Sementara tanah yang memiliki panas bumi tidak luas dan tidak tersebar di mana-mana.

“Bahkan yang ada panas bumi pun tidak selalu ada maleonya, mereka sangat memilih tempat bertelur,” kata Ka Jaka.

Hingga 31 Desember 2017, mereka telah mengumpulkan 21 butir telur, dan selama itu pula telur yang sejak dipindahkan telah menetas 2 ekor. Munculnya anakan maleo ke permukaan tanah ini memberi semangat pada mereka untuk lebih giat memindahkan telur ke dalam tempat penetesan darurat yang mereka bangun.

Dua maleo hasil penetasan ini langsung dilepasliarkan dalam rimbunnya pepohonan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Mereka berharap anakan ini tumbuh besar dan kembali bertelur di tempat ini.

“Kami yakin anakan maleo yang bertelur dan menetas di sini kelak akan kembali bertelur di lokasi yang sama,” ujar Ka Madi.

Sepanjang Januari lalu, di sela kesibukannya sebagai petani tradisional di Pinogu, mereka tak henti mengumpulkan telur maleo. Ada 42 butir yang bisa dikumpulkan dan dipindahkan ke tempat penetsan. Satu butir telur telah menetes dan langsung dilepaskan ke alam.

Proses penetesan

Berbeda dengan keluarga burung pada umumnya, saat menetas di dalam tanah, anakan maleo perlu waktu hingga 2 hari untuk muncul di permukaan tanah. Proses ini kadang-kadang terhambat oleh adanya akar dalam tanah sehingga bayi maleo yang ringkih ini akan tetap terbenam selamanya dalam tanah dan mati.

Bahkan saat sukses muncul di permukaan tanah, anakan maleo ini tidak lepas dari bahaya. Burung elang adalah pemangsa yang acap mengintai kemunculannya untuk disantap.

Pada Februari, di kawasan Pohulongo ini Ka Madi dan Ka Jaka brhasil mengumpulkan terkumpul telur 34 butir dan melepas 1 ekor anakan maleo yang baru keluar dari dalam tanah.

Keberhasilan masyarakat Pinogu ini mendapat apresiasi dari pemerintah kecamatan. Mereka pun bersama-sama melepasliarkan anakan maleo di alam.

“Kami mengapresiasi perjuangan masyarakat Pinogu dalam upaya melestarikan burung maleo, ini sangat membanggakan,” kata Bagus Tri Nugroho.

Kisah Ka Jaka dan Ka Madi bukanlah cerita yang mulus. Tantangan mengelola telur maleo ini tidak mudah, setidaknya telur-telur ini tidak berada di belakang rumah mereka.

Setiap pagi, dua orang petani ini menyeberangi Sungai Bone, sungai terbesar di Gorontalo, menuju lokasi peneluran maleo.

Rakit bambu sederhana ukuran 1,5x4 meter digunakan untuk menempuh perjalanan rutin mencari telur. Dengan menggunakan galah bambu panjang, mereka berdua mengarahkan rakit menuju kawasaan Pohulongo. Tidak mudah, karena batu kali besar berserak di badan sungai.

Usai menambatkan rakit, sebelum matahari meninggi, mereka bergegas menuju lubang-lubang peneluran. Mereka mencari lubang peneluran yang jumlahnya lumayan banyak. Tidak semua lubang berisi telur. Kadang-kadang maleo mengelabui predator atau pemburu dengan membuat beberapa lubang peneluran.

Pekerjaan lain Ka Jaka dan Ka Madi setelah itu adalah membersihkan semak dan pepohonan yang dianggap mengganggu maleo. Sebab burung ini memiliki perilaku menyukai tanah yang bersih tanpa semak namun memiliki naungan.

“Alat kerja kami hanya menggunakan parang, cangkul dan sekop. Ini sudah cukup,” kata Ka Jaka.

Luas nesting ground Pohulongo hanya 0,2 hektar sangat kecil bila dibandingkan dengan luas Hungayono yang mencapai 8,4 hektar.

Tidak perlu waktu lama untuk menemukan telur maleo yang baru, mereka berdua menyisir lubang demi lubang, termasuk yang berada di pinggir sungai.

Telur yang dikumpulkan dipindahkan ke tempat penetesan darurat yang berdinding bambu dengan ukuran 2x2 meter. Di dalam bilik bambu inilah telur maleo ditimbun lagi dalam tanah untuk menghindari predator dan ulah manusia pemburu telur.

Peduli konservasi

Ka Jaka dan Ka Madi mendapat pengarahan dari Taufik Najamuddin, staf SPTN 1 Limboto. Jadwal pengambilan telur pun diatur, sepekan sekali mereka bergantian.

“Mereka adalah warga Pinogu yang peduli pada konservasi, kami bekerja sama untuk menyelamatkan maleo dari kepunahan,” kata Bagus Tri Nugroho.

Status maleo saat ini masuk ke daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena keberadaannya terancam, dan menjadi salah satu satwa prioritas yang harus segera dipulihkan.  

Burung maleo dikenal sebagai satwa monogami. Ia hanya berpasangan dengan satu individu, ke mana-mana selalu berdua, termasuk saat menggali tanah untuk bertelur dilakukan secara bergatian.

Saat betinanya sedang bertelur di dalam lubang tanah, sang jantan berjaga-jaga di pinggirnya untuk mengawasi datangnya bahaya.

Upaya Ka Jaka dan Ka Madi di tengah belantara taman nasional ini sangat diperlukan di saat maleo sedang menghadapi kepunahannya.

Tanpa gaji dan fasilitas, mereka bekerja dengan hati tulus untuk menyelamatkan satwa endemik.

https://regional.kompas.com/read/2018/04/04/18294661/perjuangan-dua-warga-pinogu-gorontalo-selamatkan-maleo-dari-kepunahan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke