Salin Artikel

Kisah Seniman Reog Ponorogo Kembangkan Kendang hingga Inggris

Aneka kendang itu tercipta dari besutan seorang maestro alat musik Jawa, Maman Hadi Darmanto (45), warga Dusun Jatiteken, Desa Laban, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Dari karya-karyanya, usaha perajin kendang ini masih terus eksis meski peralatan musik ala digital bermunculan saat ini.

Kenekatannya mendirikan usaha kerajinan kendang diperoleh dari keterampilannya saat menjadi pekerja kerajinan kendang sepuluh tahun silam. Tak hanya itu, jiwa seorang seniman reog Ponorogo juga menunjang kesuksesan Maman dalam berkarya.

"Dahulu saya seorang seniman reog ponorogo. Kemudian saya banting haluan mencoba keberuntungan menjadi sopir angkutan tujuan Sumatera, Jawa, dan Bali tetapi hasilnya belum mencukupi kebutuhan keluarga," ujar Maman kepada Kompas.com, Minggu (18/3/2018).

Maman kemudian mencoba keberuntungan membuat aneka piranti kebutuhan reog untuk wilayah Solo dan Jogja. Lagi-lagi pria tiga putra itu kurang beruntung karena prospek penjualan piranti reog ponorogo di dua wilayah ini kurang bagus.

Setelah tak membuat piranti reog ponorogo, Maman bekerja sebagai tukang pembuat kendang di salah satu pengusaha gamelan. Setelah empat tahun bekerja, akhirnya di tahun 2012 ia memutuskan untuk mandiri.

Dengan modal yang tak seberapa Maman memberanikan diri menginvestasikan hasil tabungannya untuk membeli beberapa kayu.

Tak lama berselang, kendang pertama buatannya laku dengan harga Rp 600.000. Semangat pun makin bertambah. Bersama buah hatinya, ia terus mengembangkan usaha pembuatan kendang meski butuh perjuangan yang tak mudah.

Dari modal seadanya, di tahun kedua ia mampu membeli alat mesin bubut, dinamo, dan beberapa mesin penunjang lainnya. Dibantu empat pekerjanya, dalam sehari kini ia bisa menghasilkan puluhan kendang dalam berbagai ukuran kecil, sedang, dan besar.

Menurut Maman, rangkaian pembuatan satu kendang berkualitas membutuhkan waktu satu bulan. Waktu terlama dalam proses pengeringan kayu untuk badan kendang karena tidak bisa dilakukan instan.

"Proses pengeringan tidak bisa instan. Kalau dioven pecah. Dipanaskan terus-menerus juga bisa pecah. Untuk itu sistem pengeringannya perlahan-lahan dengan dipanaskan di matahari, paling lama setengah hari bila sehari panas. Kemudian esoknya dipanaskan lagi," kata Maman.

Pasca kayu mengering, pekerja Maman tinggal merakit badan kendang dengan potongan kulit sapi yang sudah disiapkan. Proses perakitan dan penyetelan kendang paling lama menghabiskan tiga jam.

"Makanya kami menyetok badan kendang yang sudah kering dalam jumlah yang banyak. Jadi kalau ada orang yang memesan kami tinggal merakit dengan potongan kulit sapi," tandas Maman.

Untuk membuat badan kendang, ia menggunakan mesin khusus agar bisa melubangi kayu. Pasalnya bila dilakukan secara manual akan memakan waktu lama. "Kalau melubangi dengan mesin dua jam selesai," kata Maman.

Dari tiga jenis kayu itu, kayu nangka yang paling bagus untuk bahan badan kendang. Hanya saja, kayu nangka yang memiliki umur tua susah didapatkan di pasaran.

Untuk mencari kayu bahan badan kendang, Maman memiliki jejaring pencari kayu di berbagai wilayah seperti Wonogiri, Salatiga, Magetan, hingga Kabupaten Cepu. "Kalau mereka miliki barang saya suruh mereka kirim kesini," jelas Maman.

Sementara kayu mahoni sebagai bahan pembuat badan kendang juga tidak gampang didapatkan. Apalagi jenis kayu itu dilindungi. Untuk mendapatkan kayu itu ia harus memastikan suratnya lengkap baru dibeli.

Bahan kayu itu, sambung Maman, yang akan menentukan harga. Kalau badan kendang pemesan minta dari kayu nangka maka harganya bisa Rp 7 jutaan.

Selain jenis kayu, harga juga ditentukan ukuran hingga tingkat kerumitannya. Untuk itu bagi pemain kendang profesional biasanya memilih menggunakan bahan kayu nangka atau mahoni.

Dua jenis kayu itu memiliki tekstur dan serat kayu bagus sehingga menghasilnya suara kendang yang nyaring. Sementara jenis kayu trembesi kurang bagus namun cukuplah untuk mereka yang ingin memiliki kendang dengan harga terjangkau.

Sementara untuk kulit kendangnya, Maman menggunakan kulit sapi tanpa garam. Ia biasa memesan dari pabrik kulit sapi di Yogyakarta dan Magelang. "Kulitnya juga saya pakai yang bagus. Kalau tidak bagus maka bunyinya tidak nyaring," ucap Maman.

Sebagai gambaran, untuk harga kendang berbahan kayu mahoni ukuran kecil dengan diameter 17-19 cm dan panjang 45 cm harganya Rp 500.000.

Ukuran sedang dengan diameter 17-24 cm panjang 68 cm harganya Rp 1,5 juta. Sementara ukuran besar dengan diameter 28-31 cm, panjang 75 cm harganya Rp 4,5 juta.

Selain memproduksi kendang gamelan, Maman juga membuat kendang Jimbe, ketipung dangdut, ketipung kimpul. Sedangkan rebana ia jarang memproduksi karena untungnya tipis dan pengerjaannya rumit.

Menjual kendang ke pasaran tidaklah gampang. Apalagi alat musik kendang memiliki segmen penikmat dan pembeli tersendiri.

Tak kurang akal, Maman menggunakan jejaring di perguruan tinggi yang memiliki jurusan seni untuk membantunya. Dari jejaring itu, tak sedikit orang asing seperti Malaysia, Jepang, hingga Inggris memesan kendang besutannya.

Tak hanya mendapatkan pesanan dari mancanegara, pria asal Somoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo ini juga kerap diundang sebagai instruktur mengajari mengendang hingga menyetel alat kendang di luar negeri.

Dari pengalamannya menjadi instruktur kendang di negeri Jiran, Maman menemukan perbedaan selera mengendang orang Malaysia dan Indonesia. Di Malaysia, nada kendang yang digunakan nada bes terdengar seperti kolaborasi kendang Jawa dan Melayu.

"Awalnya saya tertawa karena mereka memilih nada bes untuk musik melayu. Padahal dari sini sudah saya setel dengan nada A," kata Maman. 

Maman juga pernah menjadi instruktur di Jepang dan Inggris. Hanya saja, ia merasa urusan administrasi masuk ke dua negara itu rumit. Rumitnya terutama saat berada di bandara.

Saat berada di Inggris, dirinya tiga kali transit sebelum sampai tujuan dan terus mengalami masalah. Permasalahannya bukan lantaran passport. Namun terkait alat yang digunakan seperti kulit hingga pisau khusus dipersoalkan.

"Lantaran dipersoalkan saya sampai kasih telepon petugasnya dengan pihak pengundang langsung untuk berbicara. Setelah mereka berkomunikasi baru diperbolehkan membawa alat-alat tersebut," ungkap Maman.

Saat berada di mancanegara, Maman merasa heran dengan antusias orang di Inggris dan Malaysia yang rela antre untuk belajar mengendang dan menyetel kendang.

"Setiap dua jam saya pindah tempat untuk mengajari peserta kursus. Saya juga heran di sana bermain kendang begitu banyak diminati. Sementara di sini kok seperti diabaikan dan jarang diminati," jelas Maman.

Meski hasil karyanya sampai luar negeri, ia justru merasa sedih. Maman merasa kendang sebagai salah satu piranti gamelan kurang diperhatikan keberadaannya oleh pemerintah.

"Kesedihan saya karena di sini kurang diperhatikan budaya seperti itu. Sementara di negara lain, orang sampai rela mengantre untuk bisa mengendang dan menyetel alatnya," tuturnya.

"Saya merasa di sini seperti tidak dijaga malah dibiarkan hingga terjungkir. Makanya saya merasa kasihan dan sedih," tambahnya.

Ia merasa heran, pemerintah memberikan bantuan kepada warga yang membuka usaha warung di pinggir jalan. Padahal industri gamelan seperti kendang bisa menyerap banyak tenaga kerja.

Maman mengakui selama ini pemerintah belum memerhatikan keberadaan usaha alat-alat musik tradisional. Padahal industri alat-alat musik tradisional membutuhkan pembinaan dan promosi dari pemerintah.

Kendati demikian, Maman berharap pemerintah lebih menggiatkan lagi musik gamelan sebagai musik kebanggaan bangsanya sendiri. Salah satu caranya, menghidupkan gamelan di sekolah-sekolah sebagai ektrakurikuler wajib.

Kondisi itu akan menjadikan anak anak memiliki pengalaman terhadap musik gamelan dan menyenangi alat musik jawa tersebut. 

https://regional.kompas.com/read/2018/03/19/10193651/kisah-seniman-reog-ponorogo-kembangkan-kendang-hingga-inggris

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke