Salin Artikel

Kisah Ngadeni, Empu Keris dari Gunung Kidul

Untuk hiasan dan perlengkapan, biasanya dibuat perajin keris. Namun untuk keris yang disimpan sebagai benda pusaka, dibuat oleh seorang empu.

Salah satu empu yang masih mempertahankan pembuatan keris secara baik, yakni Empu Ngadeni. Ia tinggal di Dusun Grogol II, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.

Tinggal di rumah sederhana berwarna hijau, kakek yang lahir 6 Juni 1933 ini menghabiskan waktu bersama Majanem istrinya dan anaknya. Setiap tamu yang datang disapanya dengan ramah, dan memintanya untuk mengisi buku tamu kecil.

"Nanti suatu saat saya pas kebetulan main ke sekitar rumah bisa mampir," kata Ngadeni saat ditemui kompas.com di rumahnya, Minggu (18/3/2018).

Setelah itu, dia mengeluarkan keris pesanan salah seorang warga Yogyakarta yang dibungkus kertas putih. Keris tersebut dibuat beberapa minggu lalu. Ngadeni sendiri tidak mematok waktu pembuatan keris.

"Saya membuat keris itu tidak sembarangan waktunya, dan membutuhkan persiapan khusus, sehingga menghasilkan keris yang bagus. Pekerjaan dilakukan dengan sabar pasti hasilnya bagus, beda jika menggunakan emosi," tuturnya.

Ia sendiri mengaku tidak mengetahui pamor yang keluar dari masing-masing keris yang dibuatnya. Pamor keris akan keluar setelah keris diperhalus, dan dia akan memberitahukan kepada pemesan mengenai gambar atau pamor yang keluar tersebut.

"Keris yang saya buat harus bisa diwariskan ke anak cucu. Saya hanya membuat keris jika dipesan. Saya tidak membuat keris untuk dekorasi," imbuhnya.

Ngadeni mengaku mewarisi ilmu pembuatan keris dari ayahnya Karyo Diwongso, Empu Tosan Aji, saat dirinya masih tinggal di Padukuhan Kajar, Desa Karang Tengah, Kecamatan Wonosari.

Nama tersebut ada dalam buku berjudul 'Pedekar-Pendekar Besi Nusantara'. Buku kajian antropologi tentang Industri Pande Besi Pedesaan di Indonesia oleh Ann Dunham Soetoro, ibu mantan Presiden Amerika Barack Obama.

"Ayah saya belajar dari bapaknya, atau kakek saya. Waktu itu hanya melihat saja, tidak pernah belajar langsung," tuturnya.

Tak hanya membuat keris baru, Ngadeni juga membuat keris yang berasal dari keris lama yang didaur ulang.

"Pernah ada orang yang ingin 3 buah kerisnya dijadikan satu. Padahal itu keris tua peninggalan majapahit, tapi ya tidak apa-apa, yang penting tujuan kita baik," ucapnya.

Selain keris, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dirinya membuat peralatan pertanian seperti cangkul dan peralatan lainnya.

"Untuk membuat alat pertanian, alatnya berbeda dengan alat pembuat keris. Untuk keris masih tradisional, sementara yang pertanian sudah menggunakan blower. Yang tradisional panasnya merata," ucapnya.

Ngadeni pun mengajak ke lokasi pembuatan keris miliknya yang berada di sisi utara rumahnya. Bangunan sederhana itu terdapat beberapa peralatan seperti palu dan penjepit.

Rata-rata peralatan tersebut warisan turun temurun miliknya, bahkan untuk lokasi pembakaran masih terdapat tulisan aksara Jawa. "Anak saya yang terakhir (dari 3 anaknya) namanya Rubiyo yang saya lihat sudah bisa membuat keris dengan bagus," imbuhnya.

Istri Ngadeni, Majenem menambahkan, dirinya tidak memiliki keris khusus yang dibuat suaminya. Sebagian karya suaminya dibeli orang Amerika, Belgia, dan Singapura. "Orang singapura datang langsung, beli dua keris," pungkasnya.

Keris sendiri ditetapkan sebagai salah satu benda cagar budaya warisan dunia oleh UNESCO pada 2006 lalu. 

https://regional.kompas.com/read/2018/03/19/07162721/kisah-ngadeni-empu-keris-dari-gunung-kidul

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke