Salin Artikel

Kisah Agung Menempa Gamelan, Menebarnya hingga Jepang dan Eropa

Salah satu industri gamelan yang masih eksis di wilayah Solo Raya, yakni milik Agung Kuncoro (47) di Jatiteken, Desa Laban, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sudah lima tahun lamanya, Agung bergelut dalam dunia industri gamelan.

"Sudah lima tahun saya merintis usaha ini. Usaha ini warisan kakek saya yang dulunya menjadi pegawai Mangkunegaran dan dilanjutkan bapak saya," kata Agung yang ditemui Senin (5/3/2018).

Saat dipegang ayahnya, lanjut Agung, usaha tersebut pernah vakum selama dua tahun. Melihat kondisi itu, dia tergugah untuk kembali menghidupkan usaha tersebut kendati dengan modal pas-pasan.

Dari usahanya itu, keuntungan diraihnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya dia bisa membuat piranti gamelan dalam skala besar.

"Sekarang omzetnya berkisar Rp 300 sampai 400 juta," kata Agung.

Jumlah karyawannya pun terus bertambah. Saat memulai usaha, karyawannya hanya bisa dihitung dengan jari. Kini karyawannya mencapai tiga puluh orang.

Dia pun mengelompokkan karyawan berdasarkan keahliannya untuk menyelesaikan piranti gamelan yang berbeda. Piranti gamelan yang dibuat Agung berbagai macam yang terbuat dari bahan logam.

"Segala macam gamelan kami buat terkecuali yang bahannya dari kayu. Produk yang kami buat seperti punang, kenong, bilah, kimpol dan gong," kata Agung.

Khusus itu bahan dasar pembuatan gong, Agung mengatakan, bahan dasarnya berupa tembaga dan timah. Tembaga diperolehnya dari sekitaran Solo, sedangkan timah didapatkan dari Jakarta.

Untuk tembaga, dia mengaku bahan baku tersebut adalah barang bekas yang berwujud kabel dengan perbandingan tiga berbanding satu. Tiga untuk tembaga dan satu untuk timah. Untuk memudahkan mengingatnya, sebutan lain adalah gongso, yakni tigo dan sedoso, yang artinya tiga berbanding sepuluh.

Setelah terkumpul bahannya, lanjut Agung, kedua unsur logam tersebut kemudian dilebur menjadi satu hingga berwujud sebuah lempengan lempengan.

Lempengan tersebut kemudian diolah lebih dengan proses pande, dibakar dengan bara api yang panas.

Ketika lempengan telah berubah warna menjadi merah beberapa pekerja siap menempa lempengan tersebut secera bergantian. Bunyi khas keluar saat lempengan tersebut ditempa dengan palu besi.

Setelah gong berbentuk, proses selanjutnya berupa finishing. Gong yang berbentuk beberapa bagian digerinda hingga warnanya berubah dari cokelat menjadi kekuningan.

"Khusus untuk gamelan untuk daerah Bali hanya bagian tengahnya saja yang digerinda menjadi kuning sedang bodi keseluruhan tetap warna asli yakni gelap. Inilah yang membedakan gong untuk Jawa dengan Bali," kata Agung.

Tak hanya itu, Agung mengatakan ada perbedaan khas gong jawa dan bali dari suara dengungannya saat gong dipukul. Bila dipukul, gong jawa dengungannya pendek, sedang gong bali gemanya lebih panjang yang sering disebut ombak.

Usai digerinda, gong kemudian akan distel berdasarkan jenisnya. Ada dua jenis penyetelan jenis gong, yaitu gong laki laki dan gong perempuan. Untuk gong jenis laki-laki didominasi nada lebih tinggi, sedangkan gong perempuan lebih rendah.

"Proses penyetelan ini tidak bisa dilakukan sembarang orang. Kami memiliki pegawai sendiri karena memiliki kepekaan nada," ungkap Agung.

Harga satu gong berbahan tembaga dan timah berukuran sedang berkisar antara Rp 9-10 juta. Sementara itu, gong berdiameter satu meter harganya mencapai Rp 35 juta.

Bila memesan satu set perangkat gamelan, kata Agung, harganya berkisar Rp 300 juta hingga Rp 400 juta.

Agung mengatakan, timnya akan menyelesaikan satu set piranti gamelan dengan waktu sekitar enam bulanan.

Selain membuat gong berbahan tembaga dan timah, dia juga memproduksi gong dengan bahan plat besi. Perbedaannya, gong berbahan tembaga dan timah butuh proses dipande. Sementara itu, gong besi hanya pembentukan secara manual dari plat plat besi. Antar bagian disambung dengan menggunakan las.

"Gong jenis ini biasanya dipesan yang peruntukkanya untuk latihan saja," tutur Agung.

Ke depannya, dia optimistis piranti gamelan akan terus eksis seiring dengan makin digemarinya musik gamelan di mancanegara. Pasalnya gamelan produksinya pun telah merambah berbagai negara di dunia.

"Produk kami sudah diekspor ke Inggris, Malaysia hingga Jepang," tutur Agung.

Khususnya dalam negeri, dia berharap perhatian dari pemerintah untuk membantu modal dan proses pemasaran. Apalagi di era saat ini, ada kebijakan Pemerintah Kota Solo untuk setiap kelurahan memiliki seperangkat gamelan.

https://regional.kompas.com/read/2018/03/07/14553301/kisah-agung-menempa-gamelan-menebarnya-hingga-jepang-dan-eropa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke