Salin Artikel

Gunung Agung Meletus dan Nasib Penumpang Telantar

Dalam konteks keselamatan penerbangan, debu vulkanik berpotensi mengganggu kinerja mesin pesawat.

Mengingat tujuan Konvensi Chicago 1944 beserta peraturan turunannya, baik nasional maupun internasional, ialah menjamin keselamatan penerbangan agar selalu berada pada tingkat tertinggi, maka tidak heran jika otoritas penerbangan sipil Indonesia menutup ruang udara terkait.

Imbas penutupan ruang udara ialah pembatalan atau pengalihan penerbangan berjadwal (scheduled flight) yang ujungnya berpotensi menelantarkan penumpang.

Dalam bisnis penerbangan, layaknya konsumen pada umumnya, posisi penumpang selalu lemah. Untunglah Indonesia telah memiliki instrumen hukum setingkat peraturan menteri guna melindungi penumpang ketika terjadi keterlambatan penerbangan.

Untuk penerbangan domestik, hukum positif Indonesia mengenal right to care dan right to compensation secara bersamaan.

Right to care diterjemahkan sebagai jaminan bagi para penumpang untuk mendapatkan perlindungan dasar (basic protection) hingga sampai ke tempat tujuan. Wujudnya antara lain konsumsi yang layak, akses telekomunikasi, informasi mengenai keadaan terkini, hingga penginapan jika dibutuhkan.

Adapun kewajiban maskapai untuk "membayar" Rp 300.000 kepada penumpang jika terlambat lebih dari 240 menit ialah perwujudan right to compensation. Ini dilakukan dengan catatan kesalahan berada di pihak maskapai penerbangan dan bukan keadaan memaksa (force majeure).

Perlu digarisbawahi bahwa peraturan ini dibuat ketika tingkat keterlambatan maskapai penerbangan sampai begitu parah.

Peraturan ini merupakan suatu lecutan agar manajemen maskapai penerbangan membenahi operasionalnya. Niatnya baik, tetapi salah kaprah.

Kata "force majeure" atau "keadaan memaksa", berdasarkan hukum yang berlaku, dengan mudah akan menihilkan kewajiban maskapai penerbangan atas right to care dan right to compensation.

Berbicara mengenai yang terakhir, apakah artinya Rp 300.000 seandainya seorang penumpang telantar sekitar seminggu. Untuk biaya penginapan sehari saja belum tentu cukup, bagaimana enam hari sisanya?

Maka, lupakan right to compensation. Seyogianya peraturan yang berlaku diubah agar lebih mengedepankan right to care. Keberadaan hukum dapat diibaratkan sebagai jaring pengaman atau nilai minimum, maka tidak ada salahnya jika memberikan lebih. Sejauh mana hukum nasional melindungi penumpang mencerminkan tingkat peradaban suatu bangsa.


Dalam kasus Denise McDonagh versus Ryanair (C-12/11), Uni Eropa melalui The European Court of Justice telah menguatkan keberadaan right to care sebagai perwujudan bisnis penerbangan yang beradab.

Pada tahun 2010, Gunung Eyjafjallajokull di Islandia meletus dan mengakibatkan ribuan penerbangan dibatalkan.

Denise McDonagh memenangi gugatan terhadap Ryanair, suatu low-fare airline, atas ganti kerugian sejumlah pengeluaran nyata untuk kebutuhan pokok selama telantar di bandara. Pengeluaran itu meliputi biaya penginapan, konsumsi yang layak, dan telekomunikasi.

Penumpang yang telantar jangan hanya dilihat dari perspektif komersil--ujungnya sebagai beban, tetapi sebagai sesama manusia yang membutuhkan pertolongan.

Suatu ide untuk mengalokasikan dana corporate social responsibility (CSR) para pemangku kepentingan, di antaranya maskapai penerbangan, operator bandara, hingga perusahaan kargo dan ground handling, untuk memanusiakan manusia dengan memenuhi kebutuhan pokok mereka yang telantar terlepas nasionalitas.

Akan menarik melihat fenomena pendayagunaan bandara militer untuk penerbangan sipil komersial.

Menjadi suatu pertanyaan apakah TNI Angkatan Udara akan membiarkan para penumpang yang telantar menginap seminggu di markasnya. Jika tidak, siapa yang akan menanggung biaya "mengungsi"?

Dalam konteks ini, nyatanya right to care juga bersinggungan dengan isu pertahanan.

Akhir kata, semoga kejadian ini tidak berlalu begitu saja. Lembaga perlindungan konsumen seyogianya bergerak mengadvokasikan right to care serta mendorong pihak asuransi perjalanan guna memenuhi kewajibannya kepada para penumpang telantar, baik melalui upaya preventif maupun kuratif.

https://regional.kompas.com/read/2017/11/28/09114381/gunung-agung-meletus-dan-nasib-penumpang-telantar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke