Salin Artikel

Batik Besurek dalam Pusaran Peradaban Bengkulu

Ungkapan tersebut disampaikan desainer batik Indonesia, Edward Hutabarat. Prof Dr Koentjaraningrat menyebutkan, peradaban adalah bagian-bagian yang halus dan indah layaknya seni, menekankan unsur nurani dan akal.

Batik Besurek menjalani proses peradaban panjang di Provinsi Bengkulu. Besurek dalam bahasa Bengkulu adalah bersurat, kain yang ditulisi dengan huruf kaligrafi arab tanpa makna.

Batik Besurek dalam sejarah Bengkulu nyaris punah. Menyisakan batik tua yang tersimpan di museum dan beberapa orangtua, lalu mulai dibuat ulang di sekitar tahun 1983.

Kurator Museum Negeri Bengkulu, Muhardi mengisahkan, batik besurek bercirikan kaligrafi tanpa makna. Batik tersebut masuk ke Bengkulu pada abad XVI bersamaan dengan Islam.

Ini ditengarai dengan sudah digunakannya besurek dalam tradisi Bengkulu. Mulai dari ayunan anak, acara pernikahan, penggunaan selendang motif besurek saat ziarah kubur, hingga ritual pengantin perempuan meratakan gigi di mana mempelai ditutup dengan kain besurek.

"Ritual-ritual budaya itu telah ada sejak abad XVI dan kain besurek telah dipakai," jelasnya.

Motif yang digunakan tenun Delamak yakni garis pantai, pucuk rebung, siku keluang, perahu dan manusia.

"Saat Islam masuk, tenun delamak mendapatkan sentuhan dari batik besurek, semacam berakulturasi kira-kira begitu," jelas Muhardi.

Ada banyak tambahan motif saat Tenun Delamak dan Batik Besurek bersatu, yakni kaligrafi yang dipadu dengan motif-motif garis pantai, pucuk rebung, dan lainya.

"Tenun Delamak dipadu dengan kaligrafi maka semakin kaya motif," ujar Muhardi.

Muhardi mengaku, dalam beberapa motif besurek terkadang muncul ciri batik Jawa. Belum diketahui secara pasti kenapa motif batik Jawa kadang muncul di besurek.

"Ada dugaan saat Sentot Ali Basya, panglima perang Pangeran Diponegoro diasingkan ke Bengkulu 1833 terdapat beberapa pengrajin batik asal Jawa yang turut memperkaya motif batik besurek. Tapi ini masih hipotesis perlu penelitian mendalam," tegas Muhar.

Baginya, usaha konservasi dan pelestarian batik besurek harus dilakukan oleh semua kalangan. Menurut dia, besurek merupakan pakaian yang membungkus peradaban Bengkulu.

Upaya pelestarian batik besurek dalam satu tahun terakhir getol dilakukan Bank Indonesia perwakilan Bengkulu. Inisiatif ini muncul di tengah lesunya pengrajin besurek di tanah kelahirannya akibat plagiarisme, gempuran batik cetak, dan minimnya pembatik muda.

Deputi Bank Indonesia Bengkulu, Christin Sidabutar mengungkapkan, sejak satu tahun terakhir pihaknya fokus mendampingi pembatik besurek. Salah satu langkah yang diambil yakni menggandeng desainer kawakan Samuel watimenna sebagai pendamping.

Bersama Samuel, pengrajin yang dikoordinir BI mendapatkan beberapa pengetahuan. Yakni peningkatan kreatifitas, desain, dan warna.

Untuk melihat keinginan pasar, para pengrajin hadir di event-event nasional. Mereka bertukar pengalaman ke batik Betawi "batikku batikmu", kunjungan ke pusat batik premium berkualitas tinggi di Alun alun Grand Indonesia, termasuk di dalamnya rancangan Samuel Wattimena.

"BI juga membantu penyediaan bahan baku dan peralatan membatik seperti kain untuk membatik, lilin, canting. BI juga sedang fasilitasi lokasi showroom," jelas Christin.

Tak hanya itu, BI juga menggelontorkan Rp 500 juta untuk pembatik. Uang itu untuk meningkatkan kapasitas serta mencari pasar bekerjasama dengan Pemprov Bengkulu.

BI berjanji akan terus meningkatkan kualitas pendampingan baik dari sisi anggaran, perbaikan kualitas hingga menemukan jaringan pasar.

Meski muncul di abad ke XVI besurek sempat nyaris punah karena tidak ada pembatik yang melestarikannya. Bengkulu beruntung memiliki Asniarti. Bersama tiga rekannya pada tahun 1983, ia secara tidak sengaja menemukan motif-motif kain besurek milik masyarakat.

"Saat itu kami bekerja di Dinas Perindustrian. Kami bersama masyarakat dilatih membuat batik. Saya buat taplak meja, hasilnya banyak dilihat masyarakat. Setelah itu beberapa masyarakat mengeluarkan batik besurek tua yang mereka dapatkan dari leluhur, lalu batik itu kami buat ulang," ujarnya.

Semangat Asniarti bersama rekan-rekannya mengumpulkan motif-motif kain besurek pun terpacu. Ia berhasil mengumpulkan beberapa motif, baik dari masyarakat maupun museum.

"Kami kumpulkan motif besurek dan buat ulang, lalu kami gelar pelatihan-pelatihan di kelurahan dan desa, hingga saat ini besurek terlahir kembali," kenangnya.

Berkat perannya bersama rekan-rekannya, besurek semakin dicinta masyarakat Bengkulu. BI akhirnya menunjuk Asniarti sebagai Ketua Kelompok Pembatik Canting Emas dampingan BI.

Batik besurek diyakininya akan tetap lestari karena keunikannya, yakni kaligrafi. Batik kaligrafi di Indonesia menurutnya hanya ada di Bengkulu.

Meski ia optimistis besurek akan tetap lestari dan makin bersaing di kancah nasional maupun internasional, ia mencemaskan beberapa hal.

Kecemasannya lebih pada tantangan besurek ke depan, yakni plagiarisme para pedagang yang terkadang tidak menghormati hasil karya, maunya cepat ambil untung.

"Karya kita dibeli lalu mereka perbanyak dan jual, ini ancaman paling besar. Tantangan berikutnya yakni gempuran batik cetak dan terakhir adalah minimnya minat generasi muda mendalami dan belajar membatik besurek," keluhnya.

Sejak satu tahun terakhir, pembatik merasa terbantu berkat dampingan BI. Terutama dari sisi promosi dan seringnya bertukar pengetahuan dengan pembatik nasional lainnya.


https://regional.kompas.com/read/2017/11/13/11303011/batik-besurek-dalam-pusaran-peradaban-bengkulu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke