Salin Artikel

Akhir Pencarian Mbah Wongso, Warga Suriname Keturunan Jawa

Wajah Soegiran Wongsotaroeno (80) pagi itu terlihat begitu bersemangat dan berbingar-bingar. Mengenakan baju batik dan topi, ditemani Bibid Kuslandinu, Pelaksana Fungsi sosial Budaya KBRI Paramaribo, Mbah Wongso melahap sarapan paginya di hotel.

"Saya sudah tidak sabar bertemu dengan keluarga di Kulonprogo.Tujuan saya jauh-jauh ke Indonesia ini ya untuk bertemu dengan keluarga," ujar Soegiran Wongsotaroeno (80) atau dipanggil Mbah Wongso dalam bahasa Jawa ngoko kepada Kompas.com, Jumat (20/10/2017).

Orang-orang Jawa yang tinggal di Suriname berbahasa Jawa ngoko atau bahasa Jawa kasar. Bahasa Jawa ngoko adalah salah satu yang menetap sebagai identitas bagi komunitas orang-orang Suriname keturunan Jawa. Mereka tidak bisa lagi bercakap bahasa Jawa halus.

Jam menunjukan sekitar pukul 08.45 WIB. Mbah Wongso berpamitan ke Bibid Kuslandinu untuk mengambil tas di kamar hotel. Pria berusia 80 tahun ini lantas berjalan mengambil satu tas koper dan bergegas menuju lobi hotel.

(Baca: Demi Melacak Keluarga, Mbah Wongso Datang dari Suriname ke Indonesia)

Sesampainya di lobi Mbah Wongso sudah ditunggu oleh salah satu keponakannya dari Kulonprogo. Keduanya bersalaman dan berbincang sebentar. Mbah Wongso lantas berpamitan dengan teman -teman peserta Program Family Pilgrim lainya yang juga berkumpul di lobi untuk mengunjungi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Setelah berpamitan, Mbah Wongso bersama keponakannya menuju sebuah mobil taxi yang sudah menunggu di depan lobi hotel.

Semangatnya yang menggebu untuk segera bertemu keluarga dan melihat tempat kelahiran ayahnya, membuat Mbah Wongso sampai-sampai lupa membawa tas kopernya.

Salah satu petugas tour and travel yang mendampingi rombongan Family Pilgrim memanggil sembari menghantarkan tas tersebut ke tempat Mbah Wongso yang sudah berada di pintu mobil taxi.

Sekitar 45 menit perjalanan ditempuh dari Yogyakarta menuju Kulonprogo. Sesampainya di perempatan Patung Nyi Ageng Serang, mobil taxi yang ditumpangi Mbah Wongso dan keponakannya berbelok ke selatan menuju Kecamatan Panjatan.

Mobil Taxi lalu masuk ke sebuah jalan dusun Gatokan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo. Pepohonan yang rindang di kanan kiri jalan serta keheningan suasana dusun menyambut kedatangan Mbah Wongso.

Setelah sekitar tujuh menit melewati jalan yang hanya cukup untuk satu kendaraan roda empat, mobil taxi yang di tumpangi oleh Mbah Wongso berhenti di sebuah rumah.

Mbah Wongso pun bergegas membuka pintu dan turun dari dalam mobil. Mbah Wongso hanya berdiri, tangannya membetulkan topi sembari memandang sekitar yang mungkin masih asing baginya.

Keponakan yang bersamanya lantas mengajak Mbah Wongso berjalan menuju sebuah rumah. Di dalam rumah sudah menunggu Songko Hardjosukoyo yang tidak lain adalah satu-satunya adik kandung ayahnya, yang masih hidup. Keduanya pun lantas saling bersalaman dan duduk berdampingan.

"Kamu memang mirip sekali dengan bapakmu," ucap Songko Hardjosukoyo sembari memegang erat tangan Soegiran Wongsotaroeno (80) atau dipanggil Mbah Wongso.

Mbah Wongso pun tak kuasa menahan air matanya. Penantian panjang yang selama ini diimpikannya untuk bertemu keluarganya menjadi kenyataan. Perjalanan jauh yang harus ditempuh dari Suriname ke Yogyakarta terbayar sudah.

Apa yang dirasakan Mbah Wongso memang wajar, sebab dari kecil hingga usianya kini yang 80 tahun tinggal di Suriname. Dirinya belum pernah sekalipun datang ke tanah leluhurnya dan bertemu dengan keluarganya di Kulonprogo.

Songko Hardjosukoyo pun tak menyangka di usianya yang ke 99 tahun masih diberikan kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk bertemu langsung dengan keponakanya.

"Terimakasih jauh-jauh dari Suriname ke sini untuk menjenguk keluargamu. Aku senang masih diberikan kesempatan oleh Yang Mahakuasa bertemu," kata Songko Hardjosukoyo.

Sembari duduk, Songko Hardjosukoyo membuka sebuah buku yang digenggamnya sedari tadi. Buku tersebut berisi catatan silsilah keluarga. Dengan perlahan, pria berusia 99 tahun ini menerangkan kepada Mbah Wongso, siapa kakeknya.

"Simbah namanya Wongsotaruno. Simbah punya enam orang anak, salah satunya bapakmu," urainya.

Anak pertama, Tubiran, anak nomor dua Nyono Sastrowiyono, anak nomor tiga Sardjo, anak nomor empat Songko Hardjosukoyo, anak nomor lima Ginem Bupradjo Pranoto, dan anak terakhir Kemis Hardjosuprapto.

"Bapakmu, Tubiran, ya kakakku kandung. Aku nomor empat," terangnya kepada Mbah Wongso dalam bahasa Jawa Ngoko. 

Songko Hardjosukoyo menceritakan kakaknya Tubiran pergi meninggalkan rumah pada sekitar tahun 1929. Kakaknya itu memutuskan pergi dari rumah karena takut dimarahi ayahnya setelah ketahuan main judi.

"Simbah itu orangnya keras, Kang Tubiran ketahuan main judi, terus tidak berani pulang, takut dimarahi. Pergi dari rumah juga tidak pamit," ujarnya.

Tubiran ditawari kerja oleh temanya dan diajak berangkat ke Suriname. Tubiran ke Suriname melewati pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.

Keluarga mengetahui Tubiran berangkat ke Suriname, setelah suatu hari mengirim sejumlah uang untuk saudara -saudaranya.

"Keluarga sempat mencari Kang Tubiran kemana-mana tetapi tidak ketemu, ternyata ikut kerja di Suriname. Keluarga tahu setelah Kang Tubiran kirim uang," tuturnya.

Pernah suatu saat, Tubiran secara tiba-tiba pulang ke Kulonprogo menemui saudara-saudaranya. Saat pulang itu, Tubiran memberikan kenang-kenangan berupa kalung dan gelang emas untuk saudara-saudaranya.

"Saya lupa tahun berapa, Kang Tubiran pulang ke sini membuktikan ke saudara -saudaranya kalau benar bekerja di Suriname. Semua saudaranya waktu itu diberi kenang-kenangan kalung dan gelang emas," ujarnya.



Kepada keluarganya, Soegiran Wongsotaroeno (80) atau dipanggil Mbah Wongso bercerita dalam bahawa Jawa Ngoko. Kata dia, setelah pensiun ayahnya Tubiran berkesempatan untuk naik haji. Namun setelah itu, hari-hari dihabiskan oleh Tubiran dengan menyendiri dan hanya melamun.

Mbah Wongso yang melihat sesuatu yang aneh pada ayahnya memberanikan diri untuk bertanya dan akhirnya mendapat jawaban. Ternyata ayahnya berkeinginan untuk ke Indonesia menemui keluarga tetapi tidak mempunyai biaya.

Mendengar keinginan ayahnya, Mbah Wongso lantas memberitahu ketiga adiknya. Ketiganya mengumpulkan uang dan bersama-sama membiayai untuk berangkat ke Indonesia.

"Bapak itu tidak mau merepotkan anak-anaknya, makanya tidak cerita kalau ingin ke Indonesia melihat keluarga. Saya dan dua adik akhirnya patungan, pokoknya kami usahakan Bapak berangkat ke Indonesia," ujarnya.

Diakuinya dirinya juga sudah lama ingin ke Indonesia untuk bertemu dengan keluarga. Namun baru bisa tercapai setelah pensiun dan mendaftar ikut program Family Pilgrim, yang di fasilitasi oleh KBRI Paramaribo.

"Yang sudah ke sini adik saya, tahun lalu. Saya sudah lama ingin bertemu keluarga dan mengunjungi rumah Bapak, tapi baru bisa tercapai setelah pensiun ini," ucapnya sembari mengusap air matanya.

Selama ini Mbah Wongso hanya mendapatkan cerita dari Sang Ayah tentang asal usul keluarganya yang dari Indonesia. Termasuk alasan kenapa dahulu ayahnya memutuskan berangkat ke Suriname.

Meski belum pernah ke Indonesia namun selama ini Mbah Wongso masih menjalin komunikasi lewat surat dengan keluarga di Kulonprogo.

"Bapak tidak bisa menulis, terus dulu awalnya minta tolong saya menulis surat untuk keluarga di sini (Kulonprogo), sekali dua kali tidak dibalas. Baru surat yang ketiga dibalas, dan setelah itu saya terus intens komunikasi lewat surat, kirim foto," bebernya.

Usai bercerita panjang lebar, Mbah Wongso bersama Songko Hardjosukoyo dan kedua ponakannya lantas berjalan menuju sebuah rumah. Sebelum memasuki rumah, seorang ponakannya berteriak memberitahu.

"Ini lho, Mas Soegiran (panggilan Mbah Wongso di Keluarga Kulonprogo)," teriak salah satu keponakan Mbah Wongso memberi tahu keluarga yang berada di dalam rumah.

Serentak salah satu adik sepupu, Sri Sunarti berlari dari dalam rumah, memeluk dan mencium pipi Mbah Wongso sambil menangis.

Di rumah itu keluarga besarnya lantas makan siang bersama. Mbah Wongso pun kembali terlihat beberapa kali mengusap air matanya dengan tangannya tatkala mereka mengabadikan momen-momen indah ini dengan berfoto bersama.

"Lega bisa sampai di sini dan bertemu dengan keluarga. Saya nanti akan menginap di sini satu hari, besok baru kembali lagi ke hotel," ungkap Mbah Wongso.

"Saya tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, Mas. Saya ini jauh-jauh datang ke sini. Ini yang saya harapkan banget, lama sekali tidak bertemu dan sama-sama kangen," tuturnya.

Sri Sunarti mengaku baru pertama kali ini bertemu langsung dengan Soegiran Wongsotaroeno. Selama ini, hubungan antara keluarga di Kulonprogo dengan di Suriname hanya lewat surat dan berkirim foto.

Menurutnya dirinya sudah memiliki rencana untuk berangkat ke Suriname. Hanya saja mengenai waktunya kapan, Sri belum mengetahuinya.

"Insya Allah saya akan berangkat ke Suriname menemui keluarga di sana. Saya juga sudah ngomong ke anak-anak tentang rencana ini, tapi waktunya kapan belum tahu," ucapnya. 

https://regional.kompas.com/read/2017/10/22/08385621/akhir-pencarian-mbah-wongso-warga-suriname-keturunan-jawa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke