Salin Artikel

Rencong, dari Simbol Kewibawaan Menjadi Cendera Mata

“Sekarang ini pesanan jarang. Jadi saya jarang buat rencong lagi,” katanya, akhir pekan lalu.

Dia memperlihatkan beberapa sisa rencong yang belum diambil pemesan. Harganya variatif, tergantung ukuran. “Ada yang Rp 10.000 hehehe,” sebutnya sambil tertawa.

Di kampung itu, hanya Ishak, satu-satunya pandai besi yang dikenal pembuat rencong. Dia melakoni kerajinan itu sejak puluhan tahun lalu. Pemesan, sambung Ishak, datang dari berbagai daerah nusantara. “Ada yang dari Medan, Banda Aceh dan Jakarta. Dari saya, mereka beli, lalu dijual lagi bahkan kabarnya sampai ke Eropa sudah itu rencong,” ucapnya.

Menurut dia, sejauh ini ada empat jenis rencong, salah satunya rencong meucungkek. Jenis ini pada gagangnya bentuk panahan sebagai tempat tangan untuk digenggam.

Lalu ada pula rencong meupucok, jenis ini umumnya gagangya berukiran dengan bahan logam, sebagian dibalur dengan warna emas. Bagian awal gagang agak kecil lalu membesar sampai ke ujung. Lazimnya jenis ini digunakan dalam seremonial adat di Aceh.

“Ada juga rencong pudoi, ini gagangnya lebih pendek dan kurus. Seperti rencong yang belum siap dikerjakan. Tapi ini memang bentuknya begitu,” ungkap Ishak.

Terakhir, sambung Ishak, rencong meukuree, bedanya dengan rencong lain yaitu ukuran pada badan rencong. Beragam ukiran terdapat di sana, seperti ulang, bunga, lipan dan aneka gambar sesuai yang diperlukan.

Dulu, rencong bukan sebatas senjata tradisional kebanggan masyarakat Aceh. Senjata ini digunakan pula sebagai alat perlawanan terhadap Belanda. Karena itu pula, ukurannya beragam. Mulai dari 10 sentimeter hingga sedepa tangan dewasa.

“Bagi saya ini meneruskan tradisi. Jadi, tak ada pesanan juga tak apa-apa. Saya buat rencong ini untuk meneruskan tradisi senjata kita,” ucap Ishak.

Keberadaaan rencong pun menjadi simbol kewibawaan masyarakat Aceh, terutama masa Kesultanan Aceh Darussalam antara abad 14-18 Masehi. Semakin mewah rencong yang digunakan menunjukkan semakin tinggi peran penggunaannya di tengah masyarakat.

Cendera mata

Untuk mendapatkan rencong di Aceh tidaklah susah. Cukup mendatangi toko souvenir yang ada di sejumlah kabupaten/kota. Di Lhokseumawe, salah satu toko suvenir tertua kota itu Putroe Aceh.

Fakhrizal salah seorang penjaga toko itu menyebutkan dirinya memesan rencong dari Kampung Pande, Kabupaten Aceh Besar. Sangat jarang dia memesan produksi Aceh Utara.

“Di sana sudah langganan saja,” katanya.

Rencong tersedia beragam bentuk dan dibanderol dengan harga Rp 35.000-Rp 350.000. Dia memperlihatkan beberapa koleksi rencong yang dijual.

Ada juga yang dipasang dalam bingkai lengkap dengan tulisan “Aceh”. “Kalau pakai bingkai itu harganya paling murah Rp 350.000 per satu unit. Ada yang jutaan rupiah. Tergantung bagaimana model dan bentuknya, ada yang dipasangi jam juga biar bisa dipasang di dinding,” sebutnya.

Dia menyebutkan, rencong era modern kerap dijadikan oleh-oleh untuk para tamu, baik itu untuk kalangan pengusaha, BUMN, dan pejabat pemerintah. Bahkan, jika ada kunjungan pejabat pusat, rencong seakan menjadi oleh-oleh wajib Aceh.

“Kalau mau pesan dalam jumlah besar juga bisa. Umumnya, rencong juga dikirim oleh pedagang souvenir lainnya di Jawa ke luar negeri. Ini menandakan rencong semakin disukai buat jadi koleksi masyarakat,” kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2017/09/04/07223381/rencong-dari-simbol-kewibawaan-menjadi-cendera-mata

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke