Salin Artikel

Garuda di Dadaku, Kuching di Perutku

Jagoi adalah sebuah wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara tetangga Malaysia. Slogan yang menujukkan besarnya rasa cinta dan kebanggaan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ternyata hidup di perbatasan dengan fasilitas publik yang terbatas dan kesejahteraan yang jauh dari layak tidak mengikis rasa nasionalisme masyarakat Jagoi.

Jimau (45 Tahun) penduduk asli Desa Jagoi mengatakan, “Cari makan boleh di Malaysia, asalkan bisa pulang ke Indonesia.”

Ia mengaku setiap hari bolak-balik Indonesia-Malaysia untuk mengais rejeki.

Tak bisa dipungkiri, hidup dan kehidupan masyarakat Jagoi sebagian besar bergantung pada negeri tetangga Malaysia. Hal ini disebabkan hampir semua aktivitas ekonomi masyarakat berlangsung di Pasar Serikin.

Pasar Serikin yang terletak di daerah Bau, sekitar 15 menit perjalanan darat dari Desa Jagoi. Pasar itu hanya beroperasi pada akhir pekan. Jam operasi pasar dimulai pukul 08.00 hingga pukul 12.00 atau 13.00 siang.

Bila ingin berkunjung ke Serikin, jangan lupa membawa payung atau topi sebagai pelindung kepala. Pada siang hari, cuaca di pasar ini lebih terasa menyengat kulit ketimbang di daerah lainnya di Sarawak. Maklum, daerah Serikin begitu dekat dengan garis Khatulistiwa.

Biasanya pedagang mulai berdatangan pada hari Jumat dan pulang hari Minggu sore. Perbatasan Jagoi-Serikin hanya memiliki Pos Lintas Batas (PLB).

Menurut peraturan, PLB hanya diperbolehkan untuk lalu-lintas penduduk yang bertempat tinggal di kecamatan yang langsung berbatasan dengan Malaysia, menggunakan Pas Lintas Batas. Penduduk juga hanya diperbolehkan belanja paling banyak 600 ringgit per bulan.

Dengan Pas Lintas Batas, penduduk Indonesia diperbolehkan masuk hanya sampai Daerah Bau. Jika ingin pergi lebih jauh dari Bau, mereka harus menggunakan paspor dan harus melalui pintu batas resmi seperti di Entikong (Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat)-Tebedu, Sarawak), tidak bisa melalui PLB Jagoi-Serikin.

Sejak krisis ekonomi

Pasar Serikin semakin berkembang setelah krisis ekonomi sekitar tahun 2000. Nilai Rupiah saat itu jauh lebih rendah dibanding Ringgit. Masyarakat Malaysia di sekitar perbatasan banyak berbelanja ke wilayah Indonesia.

Selain itu, berbagai ketidaknyamanan di Pasar Entikong seperti banyaknya orang yang berdagang valuta asing dan paksaan membawa barang belanjaan dengan memungut bayaran menyebabkan pengunjung semakin berkurang dan akhirnya mendorong pedagang yang semula berdagang di Entikong berpindah ke Pasar Serikin.

Pasar Serikin semakin berkembang karena orang Malaysia merasa lebih aman dan nyaman belanja di wilayahnya sendiri.

Kegiatan di Pasar Serikin sangat menguntungkan penduduk Kampung Serikin. Ada sekitar 300 pedagang Indonesia di sini. Penghasilan penduduk Serikin dari pasar Serikin bersumber dari penyewaan lokasi berjualan, sewa kamar sebagai tempat penginapan, dan penyimpanan barang dagangan dan usaha tempat parkir pengunjung.

Pemerintah Malaysia pernah ingin menutup pasar ini karena menurut peraturan, orang asing tidak diperbolehkan berdagang di Malaysia tanpa visa kerja. Namun karena mendapat tantangan dari penduduk setempat, akhirnya kegiatan di Pasar Serikin berlangsung sampai sekarang.

Pengunjung Serikin sangat ramai terutama menjelang hari raya Idul Fitri, Natal, dan Gawai Dayak atau pada waktu libur sekolah. Pasar Serikin juga banyak dikunjungi turis.

Berbagai barang dijual di sana. Ada baju, mainan anak-anak, cinderamata Malaysia buatan Indonesia, perlengkapan pengantin sampai berbagai makanan ringan dan ikan kering.

Selain itu ada juga dijual sayuran segar yang pembelinya berasal dari Kuching dan sekitarnya yang pergi ke Serikin untuk bertamasya sekalian belanja keperluan sehari-hari.

Ada juga beberapa rumah makan di Pasar Serikin yang dikelola orang Indonesia, kecuali pedagang sayur. Kebanyakan pedagang barang kelontong berasal dari tempat yang cukup jauh dari perbatasan seperti Pontianak dan Singkawang (Kalimantan Barat) dan bahkan Jawa Barat.

Pedagang sayur antar negara

Penduduk di perbatasan Indonesia-Malaysia biasa berkata “Garuda di Dadaku, Kuching (Malaysia) di Perutku”.

Ungkapan tersebut menunjukkan kesetiaan mereka terhadap Indonesia walau mereka terpaksa mencari nafkah di Malaysia antara lain dengan menjadi pedagang lintas batas.

Mereka bolak balik berdagang ke Malaysia tanpa perlu menetap di sana karena diizinkan oleh Pemerintah Malaysia.

Mereka adalah pedagang sayur antar negara/lintas batas yang berasal dari desa-desa perbatasan di Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat dan berdagang di Serikin, Sarawak.

Tidak ada pilihan bagi mereka selain menjual produk pertanian ke negara tetangga yang lebih dekat. Sayuran bisa dibawa dengan sepeda motor sehingga ongkos angkut menjadi relatif murah.

Perdagangan di Serikin semakin ramai ketika pengunjung dari Malaysia lebih suka berbelanja di Serikin daripada ke Entikong (Kabupaten Sanggau). Produk yang dijual tidak hanya sayur-mayur tetapi juga barang kelontong. Produk pertanian yang dijual di Serikin juga semakin bervariasi.

Pada awalnya produk yang dijual terbatas pada tanaman bukan sayur karena penduduk lokal di daerah perbatasan lebih mengandalkan tumbuhan hutan sebagai sayuran.

Dengan adanya transmigran dari Jawa di daerah perbatasan, produksi sayuran hasil budidaya laku dijual di negara tetangga. Penduduk lokal semakin tertarik untuk menjadi petani sayur.

Kebanyakan mereka berasal dari Kecamatan Sanggau Ledo dan Tujuh Belas (Kabupaten Bengkayang) serta Seluas (Kabupaten Sambas) dengan jumlah sekitar 250 pedagang.

Langganan utama pedagang sayur kelompok ini adalah pedagang pengepul (disebut tauke) dari kota-kota besar di Sarawak terutama Kuching (Ibukota Sarawak) dan Sibu. 

Setiap tauke biasanya sudah menjalin kerjasama dengan sekitar 20 pedagang sayur. Walau tidak ada kewajiban petani menjual sayur kepada tauke tertentu, pedagang lebih mudah menjual sayur jika sudah ada langganan tauke tertentu.

Setelah sayur terjual dan beristirahat sebentar, petani sayur akan membeli barang kebutuhan sehari-hari seperti gula, minyak goreng, minuman coklat di Serikin dan langsung pulang.

Di luar hari pasar, jika memerlukan pasokan sayur dengan segera, tauke akan menelepon petani langganan dan petani akan membawa sayur sesuai perjanjian.

Pedagang sayur datang ke Serikin menggunakan kendaraan bermotor roda dua yang banyak di antaranya tidak memiliki nomor kendaraan. Mereka tidak mau pusing jika ada razia oleh polisi Indonesia, kalau polisi mau, ambil saja motor butut penuh lumpur tersebut.

Sepeda motor bisa digunakan untuk membawa sekitar 1 sampai 3 kwintal sayuran tergantung ukuran sayurannya dan pengalaman membawa banyak sayur menggunakan sepeda motor. Mereka lebih suka pergi berombongan supaya dapat saling menolong jika terjadi kecelakaan di perjalanan.

Kelompok kedua adalah pedagang sayur eceran yang semuanya perempuan dan juga berasal dari Kabupaten Bangkayang dan Kabupaten Sambas.

Mereka datang menggunakan ojek motor dan tidak membawa sayur karena dibeli dari petani sayur (kelompok pertama). Mereka datang setiap hari Kamis sehingga dapat membeli sayur ke petani sayur dan pulang pada hari Minggu.

Pedagang eceran sayur harus menginap selama tiga malam di Serikin di pondok ukuran 2x2 meter dengan sewa rata-rata RM 70 per bulan. Di pondok inilah mereka menyimpan peralatan masak. Sedangkan sayuran yang tidak habis terjual, diletakkan begitu saja di depan pondok tanpa ada yang mencuri.

Harga barang yang dijual disini semuanya dalam hitungan mata uang Ringgit. Walaupun yang berjualan sebagian warga Indonesia, mereka biasanya tidak menerima pembayaran dalam bentuk Rupiah.

Tapi tak ada salahnya untuk mencoba bertransaksi dengan Rupiah. Kalau Anda beruntung bisa saja Rupiah Anda akan diterima dalam bertransaksi di Pasar Serikin ini.

https://regional.kompas.com/read/2017/08/10/14075841/garuda-di-dadaku-kuching-di-perutku

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke