Salin Artikel

Nyonya Meneer Pailit, Bagaimana Nasib Taman Djamoe Indonesia?

Saat Kompas.com mendatangi TDI, Selasa (8/8/2017) siang, suasananya sangat sepi. Dua pos satpam dibiarkan dalam keadaan kosong. Sementara di halamannya yang luas juga tidak nampak kendaraan yang parkir di sana.

Lebih jauh melangkah, sebuah bangunan bergaya minimalis modern gagah berdiri. Bendera merah putih masih berkibar satu tiang penuh. "Tutup" tertulis di pintu kaca bangunan tersebut.

"Sementara dalam proses banding, aktivitas di TDI ditutup dulu," ucap Koordinator TDI Nyonja Meneer, Endah Permata.

Wanita berhijab ini mengaku tidak tahu sampai kapan kebijakan penutupan ini akan berakhir. Namun yang jelas, akibat kebijakan itu pihaknya terpaksa membatalkan seluruh kunjungan dan booking order yang masuk ke TDI.

Padahal, booking order ke taman jamu pertama di Indonesia ini sudah masuk hingga bulan Oktober mendatang.

"Ada beberapa sekolah, ada dari Jawa Barat juga kita batalkan. Malah 3 September besok itu sudah di-booking untuk pernikahan, kasihan sebenarnya. Katanya sih nanti di sini yang megang kurator, saya enggak paham semacam itu," katanya.

Endah sendiri merasa tidak percaya perusahaan tempatnya bekerja hampir 40 tahun ini menghadapi kemelut yang membuat bisnis pabrik jamu legendaris ini limbung. "Rasanya enggak pailit kok, betul," ucapnya.

Endah mengaku termasuk orang yang pertama dipercaya oleh keluarga besar Nyonya Meneer untuk merawat TDI. Awalnya, TDI merupakan kebun aneka tanaman jamu yang dikelola oleh Ibu Meneer dari tahun 1970. Hasilnya dipasok untuk keperluan produksi jamu Nyonya Meneer di Semarang.

Namun di tangan DR. Charles Saerang, generasi ketiga Ibu Meneer, kebun tanaman jamu seluas tiga hektar ini didesain ulang menjadi lebih nyaman dan indah untuk dinikmati. Tidak kurang dari 600 spesies tanaman jamu berkhasiat dari seluruh Indonesia ada di sini.

Endah berharap, keberadaan TDI akan tetap dipertahankan dan bahkan bisa berkembang menjadi lebih baik lagi. Sebab TDI menurut Endah merupakan literasi alam bagi warisan kebudayaan kesehatan bangsa Indonesia, yaitu "Jamu".

"Harapan saya TDI tetap bisa berkembang, karena ini aset nasional untuk pendidikan. Karena disini banyak tanaman yang sudah kurang dikenali lagi oleh masyarakat, meskipun itu hanya rumput," ujarnya.

"Saya mulai dari tahun 80-an dari tanamannya segini (pendek) sampai besar-besar segini, apa hati saya tidak trenyuh?" ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Harapan agar TDI tetap eksis juga diutarakan oleh Beni (28) warga Kota Salatiga yang bertugas sebagai staf bagian taman.

Dia melihat, PT Nyonya Meneer adalah perusahaan yang konsisten menjaga "pakem" jamu nusantara sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Sedangkan keberadaan Taman Djamoe Indonesia, menurut Beni, penting untuk menjadi "kitab suci" bagi ilmu pengetahuan tentang jamu Indonesia.

"TDI sendiri ini adalah suatu tempat yang diprakarsai Nyonya Meneer yang difungsikan memang untuk menjaga informasi tentang tanaman obat dan jamu," kata Beni.

Komitmen Nyonya Meneer untuk menjaga TDI sebagai pusat informasi tentang tanaman jamu ini dibuktikan dengan membiarkan TDI tetap orisinal. Padahal dengan letaknya yang strategis di jalur utama Semarang-Solo, Nyonya Meneer bisa saja menambah berbagai wahana untuk lebih banyak menarik pengunjung.

"Dulu disini adalah kebun tanaman obat, yang notabene hasilnya disuplai ke pabrik. Cuma dirombak menjadi taman, ada pakemnya. Tidak boleh ada wahana, tidak boleh ada (fasilitas) wisata. Akhirnya terbatas pada wisata edukasi saja," ujarnya.

Beni berharap, Pemerintah ikut turun tangan sehingga putusan Pengadilan Niaga yang menyatakan Nyonya Meneer pailit tidak berdampak pada eksistensi TDI.

"Taman jamu ini saat di renovasi dan diresmikan Bibit Waluyo, itupun di bawah KLH (Kementerian Lingkungan HIdup). Mungkin untuk solusinya akan ada peran dari Pemerintah," harapnya.

https://regional.kompas.com/read/2017/08/09/07070051/nyonya-meneer-pailit-bagaimana-nasib-taman-djamoe-indonesia-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke