Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Seliwati Melawan Kesewenangan dengan Jengkol

Kompas.com - 04/11/2016, 06:50 WIB

KOMPAS.com - Jengkol bukan sekadar menu yang kerap hadir di meja makan. Di tangan Seliwati (45), sayuran itu menjadi alat perlawanan terhadap kesewenang-wenangan, sekaligus sumber penghasilan warga desa.

"Pohon jengkol ini berkah. Murah, meriah, cepat menghasilkan, dan menguntungkan," kata Seliwati, warga Desa Uraso, Kecamatan Mappedeceng, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, ketika ditemui di Jakarta, Minggu (16/10/2016).

Ia berada di Ibu Kota untuk menerima penghargaan dari Oxfam Indonesia sebagai salah satu dari sembilan Perempuan Pejuang Pangan 2016.

Kiprah Seliwati sebagai pejuang pangan dimulai sekitar 10 tahun lalu. Saat itu, tahun 2006, lahan di Desa Uraso diakuisisi sebuah perusahaan perkebunan swasta secara mendadak.

"Tak ada pemberitahuan kepada warga, tahu-tahu lahan kami sudah diberi pagar pembatas," kata Seliwati.

Lahan sudah dipatok-patok oleh orang tak dikenal. Berbagai pepohonan dan tanaman lain milik warga ditebang dan dibersihkan. Ketika ditanya, orang-orang itu mengatakan lahan sudah menjadi milik sebuah perusahaan perkebunan swasta. Lahan yang dikuasai perusahaan kemudian ditanami pohon kakao.

Peristiwa itu sangat mengagetkan warga. Pasalnya, lahan yang diakuisisi telah dimiliki warga Desa Uraso secara turun-temurun. Memang warga tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan, tetapi mereka sudah bercocok tanam di sana sejak zaman nenek moyang.

Seliwati dan petani lainnya hanya bisa pasrah. Mereka tidak tahu harus mengadukan nasibnya kepada siapa. Aparat pemerintahan yang diharapkan melindungi rakyat justru dianggap lebih memihak perusahaan perkebunan. Aparat penegak hukum berkantor di pusat kecamatan, jauh dari desa itu.

"Kami hanya petani sederhana. Mau demonstrasi takut ada akibatnya dan membahayakan keluarga," ujarnya.

Setelah akuisisi terjadi, lahan garapan yang disisakan untuk warga tinggal 30 hektar. Di lahan yang terbatas itu, warga menanam merica dan durian. Hasil penjualannya lumayan. Namun, pengeluaran untuk membeli bibit, pupuk, dan pembasmi hama juga cukup besar. Ini membuat keuntungan yang diterima petani tidak seberapa.

Agar bisa hidup, sejumlah warga akhirnya memilih kerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan kakao yang mengakuisisi tanah warisan mereka.

"Sedih sekali rasanya. Kami seperti budak di lahan milik sendiri," ujar Seliwati.

"Ini lahan kami. Semestinya kami bisa mandiri menghasilkan sayur dan buah-buahan. Bukan dibayar di atas tanah sendiri."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com