Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bubur Parang, Tradisi Warga pada Hari Asyura

Kompas.com - 11/10/2016, 17:51 WIB
Rahmat Rahman Patty

Penulis

AMBON, KOMPAS.com - Peringatan Hari Asyura ikut dirayakan oleh warga di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) Maluku setiap tanggal 10 Muharam, Selasa (11/10/2016). Di Desa Namalean, Kecamatan Pulau Gorom, misalnya, perayaan Hari Asyura sudah menjadi tradisi bagi warga setempat secara turun-temurun.

Dalam setiap kali perayaan Hari Asyura, warga desa biasanya berdoa bersama di rumah pemuka agama (khatib). Setelah doa dipanjatkan, kaum perempuan akan menghidangkan bubur parang sebagai tradisi warga dalam merayakan Hari Asyura.

Bagi warga setempat, bubur parang tidak hanya menjadi menu bagi warga yang ikut berdoa, tetapi telah menjadi simbol untuk mengenang wafatnya, cucu Nabi Muhamamd, Saidina Husain, yang terbunuh di padang Karbala ribuan tahun silam tepatnya pada tanggal 10 Muaram 61 Hijriah.

“Bubur parang ini makanya sebagai simbol dalam peperangan, dan bubur parang ini juga untuk mengenang wafatnya Saidina Husain di padang Karbala,” kata Badarudin Tianotak, tokoh agama desa setempat, saat dihubungi dari Ambon, Selasa (11/10/2016).

Dia menceritakan, peringatan Hari Asyura untuk mengenang wafatnya Saidina Husain telah berlangsung secara turun-temurun di desa tersebut. Biasanya tiga hari sebelum acara doa dilakukan pada tanggal 10 Muharam, warga desa terlebih dahulu berpuasa.

Dalam tradisi itu, tidak semua warga desa punya hak yang sama untuk menggelar dan merayakan Hari Asyura, sebab acara tersebut hanya dapat dilakukan oleh mata rumah Khatib Baadilah atau marga yang mengurus khusus masalah agama yakni dari marga Tianotak dan Rumalean.

Biasanya, dua hari menjelang 10 Muharam atau setelah warga berpuasa, mata rumah Khatib yang menyelenggarakan perayaan itu akan didatangi warga desa. Mereka membawa beras, buah-buahan, hingga bumbu masak.

Beras yang dibawa secara sukarela itu nantinya akan dimasak oleh ibu-ibu dari keluarga mata rumah khatib. Sedangkan para pemuda kampung juga berpartisipasi mencari kayu bakar di hutan untuk keperluan memasak.

“Jadi yang masak juga khusus dari keluarga mata rumah khatib. Tidak bisa dari yang lain, kalau partisipasi warga hanya membawa beras dan juga mengambil kayu bakar,” katanya.

Menurut Baharudin, sebanyak apa pun beras yang disumbangkan warga harus dapat dimasak semuanya dan tidak boleh ditinggalkan.

Dalam tradisi warga setempat, bubur parang yang disajikan dalam acara itu pun tidak boleh ditinggalkan sisanya dan harus dibagikan kepada seluruh warga desa.

“Baik buburnya maupun berasnya tidak boleh tersisa, harus dihabiskan. Buburnya dimasak dengan campuran gula merah, ubi, garam, dan juga sari kelapa,” katanya.

Dahulu, lanjut dia, bubur parang yang dihidangkan itu hanya boleh dimakan dengan sendok yang terbuat dari nyiur daun kelapa, tetapi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir nyiur daun kelapa telah tergantikan oleh sendok yang terbuat dari almunium.

Sesuai tradisi, sebelum bubur parang dihidangkan dan doa dipanjatkan, imam masjid terlebih dahulu menunaikan shalat sunat di kamar tempat dilakukannya perayaan Hari Asyura. Bedanya shalat yang dilakukan sang imam tidak seperti shalat pada umumnya.

Dia menjelaskan makna dari shalat yang dilakukan sang imam itu sendiri menggambarkan bahwa dalam keadaan perang sekalipun umat muslim tidak boleh meninggalkan shalat seperti yang terjadi di perang Karbala.

“Imam melakukan shalat sunat dengan alat perang di pinggangnya, itu hanya dilakukan saat Hari Asyura saja,” sebutnya. Sementara itu, tokoh masyarakat Seram Bagian Timur yang juga warga desa setempat, Saleh Tianotak, mengungkapkan, perayaan Hari Asyura di Desa Rumalean awalnya selalu diiringi dengan tarian perang cakalele, tetapi entah apa sebabnya tarian itu kini tidak lagi ditemukan setiap kali perayaan Hari Asyura termasuk yang dilakukan di desanya, Selasa ini.

“Dulu biasanya ada, tetapi kini tidak ada lagi, tapi di desa-desa lainnya masih ada hingga saat ini,” sebutnya. Menurut dia, perayaan Hari Asyura di Desa Rumalean biasanya dipusatkan di rumah pemangku agama desa setempat. Sedangkan di kampung-kampung lainnya perayaan Hari Asyura juga dilakukan di masjid-masjid.

Tidak diketahui sejak kapan perayaan Hari Asyura mulai dilakukan warga di desa setempat. Namun, kata Saleh, perayaan Hari Asyura ini sudah dilakukan sejak dahulu dan telah menjadi tradisi tidak hanya di Desa Rumalean, tetapi juga seluruh desa di kabupaten tersebut.

“Yang jelas peringatan Hari Asyura ini sudah dari dahulu kala, saya kurang tahu sejak kapan, tetapi yang saya ketahui setiap punya surat wasiat dengan tulisan arab gundul yang kira-kira pesannya untuk mengenang wafatnya Saidina Husain,” ungkapnya. (K54-12)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com