Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Cepi, Penderita Kanker Kulit yang Tinggal di Gubuk dengan 8 Saudaranya

Kompas.com - 18/06/2015, 15:52 WIB
Kontributor Bandung, Reni Susanti

Penulis


PURWAKARTA, KOMPAS.com
 — Cepi Wahdan (16) termenung. Matanya memandang ke kejauhan dari pintu rumahnya yang lebih mirip gubuk. Hampir setiap hari, lelaki yang diduga terkena kanker kulit ini menghabiskan harinya seperti itu.

Warga Kampung Cimahi, Desa Pasir Jambu, Kecamatan Maniis, Kabupaten Purwakarta, ini seperti kehilangan senyumnya sejak dulu. Berawal saat menderita panas pada usia tiga tahun, hidup lelaki berperawakan kurus tersebut berubah.

"Awalnya panas seminggu, telat nyebor (mengobati dengan air doa), jadinya timbul bintik-bintik hitam di kulitnya. Saat itu tidak berani bawa ke dokter karena tidak ada biaya," tutur sang nenek, Mak Ijah (80), kepada Kompas.com di kediamannya, Kamis (18/6/2015).

Lama-kelamaan, bintik-bintik hitam itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Hingga suatu hari, Mak Ijah menyadari ada benjolan kecil di mata kiri sang cucu. Semakin hari benjolan tersebut semakin besar, bahkan menutupi bola matanya. Benjolan tersebut pun mengeluarkan nanah, darah, dan bau yang tidak sedap.

"Keluarga baru membawa Cepi ke puskesmas setelah bintik hitamnya semakin banyak dan ada benjolan di matanya," tutur Mak Ijah.

KOMPAS.com/Reni Susanti Cepi Wahdan, diduga menderita kanker kulit stadium lanjut. Kini Cepi hidup di sebuah gubuk bersama delapan saudaranya di Kampung Cimahi, Desa Pasir Jambu, Kecamatan Maniis, Kabupaten Purwakarta.

Melihat gejala dan penyakit yang diderita Cepi, puskesmas pun merujuknya ke RSUD Bayu Asih. Namun, karena keterbatasan peralatan, pada tahun 2011, Cepi dirujuk ke Cicendo, kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Di RSHS pula, Cepi harus merelakan mata kirinya diambil karena tumor ganas yang menyerang Cepi sudah merusak jaringan mata.

Setelah bertahun-tahun, kini benjolan kembali muncul di leher bagian belakang. Ukurannya sebesar mata kaki. Sama halnya dengan benjolan di mata, benjolan di lehernya kerap mengeluarkan darah dan nanah.

"Penyakit Cepi tidak mengganggu aktivitas fisik Cepi. Hanya saja, kalau berkeringat, seluruh kulitnya akan terasa gatal," tuturnya.

Gubuk bambu

Kini, Cepi tinggal di sebuah gubuk berukuran 4 meter x 5 meter bersama orangtua, nenek, saudara, dan para keponakannya. Di gubuk beralaskan papan dan berdinding bilik atau anyaman bambu tersebut, delapan orang keluarganya hidup. Jangankan televisi, kursi pun tidak ada. Ventilasi udara pun buruk. Bahkan jika malam datang, mereka hanya bisa memanfaatkan nyala api dari lampu kaleng yang di dalamnya diisi minyak.

Salah satu tempat favorit Cepi adalah sebuah kamar yang terletak di bagian luar rumah neneknya tersebut. Di dalam ruangan yang tidak berpintu itu terdapat beberapa helai kain dan bantal.

Di sanalah Cepi kerap menghabiskan waktu selain duduk di dekat pintu rumah. Lokasi rumah Cepi pun terpencil, antara perbatasan Purwakarta dan Cianjur. Untuk sampai ke rumahnya, hanya bisa dilalui sepeda motor atau berjalan kaki.

Sementara itu, UPTD Puskesmas Maniis, Wayudin, menjelaskan, panas yang diderita Cepi saat balita merupakan tanda dari penyakit yang dideritanya. Termasuk bintik-bintik hitam di seluruh tubuhnya, itu merupakan indikasi dari penyakit yang diderita.

"Saya masih menunggu hasil pemeriksaan, tapi dugaan sementara, Cepi terkena kanker kulit," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com