Kala itu, ayah Sulastri kesepian karena ibunya meninggal dunia akibat kecelakaan. Jadilah Sulastri sebagai tempat pelampiasan nafsu bapaknya. Masa depannya pun hancur.
"Saya putuskan nekat ke Dolly. Saat itu, saya baru lulus SMA di kampung. Akibat bapak, saya hamil. Terpaksa saya gugurkan saat masih dua bulan hamil," kata perempuan asal Tulungagung itu.
Sejak tahun 2004, Sulastri tak pernah pulang ke kampung halamannya. Ia tidak tahu lagi keberadaan sanak keluarganya di kampung. "Karenanya, saya berharap dan akan terus berjuang, bagaimana (supaya) Dolly tetap buka," tekannya.
Sulastri adalah salah satu PSK di Gang Dolly yang aktif mengikuti aksi blokade jalan. "Saya dan teman-teman akan berjuang mati-matian bagaimana (supaya) Dolly dan Jarak tetap buka," kata Sulastri.
Ditanya soal besarnya uang kompensasi dari Pemerintah Kota Surabaya senilai Rp 5.050.000 untuk PSK dan Rp 5.000.000 untuk mucikari, Sulastri tegas menolaknya. "Kita menolak ditutup kok, ya harus tolak juga uang kompensasinya," kata Sulastri.
Sulastri mengaku baru akan berhenti bekerja di Dolly jika sudah menikah. "Banyak kok calon yang akan menikah dengan saya. Tapi masih saya persiapkan. Saya sudah punya pacar," kata perempuan yang mengaku pernah diajak salah satu kepala desa di wilayah Surabaya ini.
Selama bekerja di Dolly, tarif Sulastri tergolong mahal. Per jamnya mencapai Rp 300.000. "Tapi uang itu masih dibagi tiga, untuk mucikari, dan pemilik wisma," kata dia tanpa mau menyebutkan berapa persen yang ia dapat untuk sekali melayani tamu.
"Tak ada kata lain selain tetap tolak penutupan Dolly. Walau sudah dideklarasikan oleh Wali Kota, Dolly dan Jarak ditutup, kita akan tetap beroperasi. Yang datang terima uang kompensasi itu mayoritas bukan PSK, melainkan anggota PKK," selorohnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.