Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Pedagang Tradisional Ramai Gugat Perda

Kompas.com - 08/11/2013, 02:37 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com — Pedagang pasar tradisional kadang dianggap remeh oleh sebagian orang, termasuk kalangan pemerintah. Kesan yang melekat bagi komunitas ini adalah dekil, bau, dan kadang tidak berpendidikan.

Namun, di Kota Bengkulu para pedagang tradisional duduk kumpul justru mendiskusikan gugatan persoalan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2013 tentang Retribusi Pelayanan Pasar. Perda ini rencananya akan mulai diberlakukan pada Desember 2013.

Layaknya para mahasiswa dan ahli hukum, para pedagang pasar ini membedah satu per satu isi Perda Nomor 7 Tahun 2013 itu. Segelintir pengacara, mahasiswa, dan pegiat di bidang hukum ikut mendampingi.

Setidaknya empat poin besar menjadi hasil diskusi yang mereka gelar selama hampir tiga jam. Pertama, para pedagang menyebutkan bahwa perda yang disahkan DPRD Kota Bengkulu tersebut aneh, terkait operasionalisasi peraturan itu.

Operasionalisasi peraturan daerah biasanya membutuhkan peraturan wali kota sebelum ada instruksi teknis. "Secara aturan hukum perda harus memiliki perwal baru bisa menyusul instruksi wali kota ke dinas teknis. Ini ganjil," ujar peserta diskusi.

Kedua, pedagang mengeluhkan uji publik peraturan daerah tidak dilakukan sebelum pembahasan oleh DPRD dan pemerintah daerah. Banyak pedagang tidak tahu bagaimana proses pembuatan peraturan tersebut sehingga mendadak ada dan sama sekali tak melindungi hak pedagang.

"Perda hanya berbicara kewajiban pemerintah, tidak membicarakan apa hak yang kami terima, termasuk kompensasi atas uang retribusi yang dibebankan ke pedagang," kata Syaiful, salah seorang pedagang Pasar Minggu, Kamis (7/11/2013).

Ketiga, tarif retribusi naik ratusan persen jika dibanding dengan aturan lama. Bambang Haryanto, Ketua Forum Panorama Rafflesia Bersatu (FPRB), menyebutkan, aturan lama untuk sewa kios atau awning, pedagang dikenai uang tidak lebih dari Rp 100.000 per bulan, sudah termasuk retribusi sampah, keamanan, dan pajak.

"Dalam perda baru ini pedagang dikenai sewa Rp 25.000 per meter persegi per bulan. Itu belum termasuk biaya lain-lain, seperti retribusi kebersihan, sampah, pajak, dan keamanan. Bisa mencapai Rp 300.000 per bulan," kata Bambang.

Keempat, peraturan daerah tersebut menyebutkan denda dua persen per bulan jika pedagang telat membayar sewa. Jika tiga bulan bertutur-turut tidak membayar, peraturan pun mengenakan denda tiga kali lipat dan ancaman kurungan tiga bulan.

Perwakilan dari Ombudsman Bengkulu yang turut diundang menyebutkan, mereka bersedia menindaklanjuti laporan soal peraturan daerah yang dipersoalkan para pedagang pasar itu bila disampaikan resmi ke instansinya. "Kami lebih melihat kepada prosedur hingga peraturan daearh ini," kata Asisten Komisioner Ombudsman, Irsan Hidayat.

Menurut Irsan, diskusi para pedagang pasar yang diikutinya tersebut menengarai peraturan daerah yang jadi persoalan itu lahir tanpa pelibatan penuh para pedagang. Karenanya, penolakan terjadi begitu peraturan akan diterapkan.

Dalam dua pekan mendatang, para pedagang ini pun berencana mengajukan uji materi peraturan daerah tersebut ke Mahkamah Agung. "Hasil diskusi ini dan beberapa dokumen lain akan segera kami siapkan," kata pengacara yang mewakili pedagang pasar, Zulhendri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com