Seusai sidang yang digelar di Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti) III Surabaya, Sidoarjo, Jawa Timur, yang berlangsung selama sekitar 10 jam, Djaja mengatakan bahwa semua pertimbangan yang dipaparkan majelis hakim adalah delik formal atau mengacu pada aturan, bukan fakta persidangan.
"Seharusnya yang disampaikan hakim fokus pada delik material. Dan saya pikir ini pun tak terbukti karena saya tak terima uang dan hanya terima pekerjaannya," ungkap Djaja, Jumat (27/9/2013).
"Saya melihat bahwa pengadilan ini zalim karena semuanya asumsi semata, bukan berdasarkan UU," lanjut dia.
Mengenai vonis majelis hakim, dia sudah menduganya tak akan lolos dari hukuman sejak eksepsi dulu. Makanya, setelah sidang usai, pihaknya langsung mengajukan banding ke Pengadilan Utama Militer di Jakarta.
"Ini kami akan membuat memori banding dan segera diajukan. Bahkan, kalau perlu kami juga akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA)," pungkasnya.
Perkara dalam persidangan ini terjadi pada 1998. Pada waktu itu, tanah milik Kodam V/Brawijaya di Dukuh Menanggal, Surabaya, Jatim, seluas 8,8 hektar ditukargulingkan kepada PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) untuk dijadikan jalan tol. PT CMNP memberikan kompensasi sebesar Rp 17,6 miliar kepada Djaja.
Dari dana itu, Rp 4,42 miliar telah digunakan untuk membangun atau merehabilitasi bangunan dan fasilitas milik Kodam. Namun, sebanyak Rp 13,2 miliar sisanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. (sda)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.