BIMA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan serangkaian kegiatan penggeledahan di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kegiatan yang sudah berlangsung selama dua hari, mulai Selasa (29/8/2023) hingga Rabu (30/8/2023), disebut untuk mencari bukti kasus dugaan suap dan gratifikasi dana rehab rekon pasca-banjir senilai Rp 166 miliar tahun 2017-2018.
Kasus tersebut diduga menyeret nama Wali Kota Bima Muhammad Lutfi dan sejumlah pejabat lain di Pemkot Bima.
Baca juga: Sekda Sebut Tak Ada Dokumen yang Disita KPK dari Rumah Wali Kota Bima
Setelah menyasar kantor Wali Kota Bima pada Selasa (29/8/2023), KPK juga juga menggeledah sejumlah kantor OPD dan rumah pribadi milik Wali Kota Bima, Muhammad Lutfi, pada Rabu (30/8/2023).
Wakil Wali Kota Bima Feri Sofyan mengaku terkejut mendengar kabar adanya kegiatan penggeledahan oleh KPK tersebut.
Baca juga: Wakil Wali Kota Bima Sebut Penggeledahan KPK Ganggu Kondisi Psikis ASN
Menurutnya, kegiatan itu cukup menggangu psikis Aparatur Sipil Negara (ASN), sebab ini baru pertama kali terjadi di Pemkot Bima.
"Secara psikis mengganggu mental aparat yang ada, karena hal ini pertama kali terjadi di daerah kita tercinta," kata Feri Sofyan saat dikonfirmasi, Rabu (30/8/2023).
Kendati menimbulkan beban psikis bagi para pegawai, Feri Sofyan menegaskan, kegiatan KPK ini adalah upaya menegakkan hukum, sehingga semua pihak harus mendukungnya.
KPK harus diberikan keleluasaan dalam mencari bukti atas kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menyeret nama wali kota Bima.
"Dan diharapkan kepada seluruh ASN agar bisa mengambil hikmah dari kejadian ini, sekaligus menjadi terapi agar hal ini tidak terulang kembali," ujarnya.
Selama dua hari melakukan penggeledahan, KPK sudah menyita sejumlah dokumen yang diduga berkaitan dengan proyek rehab rekon pasca-banjir tahun 2017-2018.