BIMA, KOMPAS.com - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah menetapkan status siaga darurat bencana alam kekeringan.
Penetapan itu mengikuti Surat Keputusan (SK) Gubernur NTB dengan Nomor 360-404 Tahun 2023 tentang Siaga Darurat Kekeringan dan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla).
"Saat ini kita masih pada level siaga belum tanggap darurat," kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bima, Isyrah saat dikonfirmasi, Kamis (10/8/2023).
Baca juga: Warga Terdampak Bencana Kekeringan di Papua Tengah Dukung Pembangunan Gudang Logistik
Isyrah mengungkapkan, meski baru pada level siaga, namun upaya pendistribusian air bersih untuk warga terdampak mulai dilakukan.
Dari 39 desa berisiko krisis air yang sudah terdata, 14 desa di antaranya mengajukan permohonan air dan telah dilayani menggunakan mobil tangki BPBD.
Baca juga: 28.000 Warga Gunungkidul Berpotensi Terdampak Kekeringan
Sebanyak 14 desa itu tersebar di Kecamatan Palibelo, Langgudu, Sape, Bolo dan Donggo.
"Droping air tetap berdasarkan laporan dan permintaan, seperti kemarin kita lakukan di Desa Mpili, Kecamatan Donggo," ujarnya.
Menurut dia, permohonan distribusi air bersih masih ada peluang terus bertambah, sebab puncak musim kemarau diprediksi terjadi pada Agustus 2023.
BPBD mengklaim, ketersediaan armada dan anggaran masih cukup memadai untuk menangani persoalan kekeringan yang baru pada level siaga saat ini.
"Kalau masih level siaga masih bisa kita tangani secara koordinatif," kata Isyrah.
Sebelumnya, Isyrah menyampaikan, sejumlah wilayah di Kabupaten Bima mulai dilanda kekeringan.
Akibatnya, 23.098 jiwa di 39 desa berisiko mengalami krisis air bersih.
"39 desa ini tersebar di 11 kecamatan," kata Isyrah, Rabu (7/6/2023).
Isyrah mengungkapkan, bencana alam kekeringan sudah menjadi persoalan tahunan di wilayah ini.
Menurut dia, salah satu faktor pemicunya adalah aktivitas perambahan kawasan hutan yang tidak terkontrol. Masyarakat masih sangat leluasa memanfaatkan kawasan hutan untuk menanam komoditi pertanian seperti jagung.
Kondisi ini disebut membuat serapan air berkurang, sehingga berisiko terjadi krisis air bersih saat musim kemarau.
"Salah satu pemicunya hutan kita sudah banyak yang gundul karena terus dirambah oleh masyarakat," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.