PURWOREJO, KOMPAS.com - Eko Prasetyawan (21) merupakan seorang mahasiswa di salah satu kampus swasta di Purworejo. Empat semester telah dilaluinya dengan penuh perjuangan.
Bagaimana tidak, ia tinggal di desa tertinggi di Purworejo, yakni Desa Giyombong, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, yang jaraknya ke kampus butuh 1 jam perjalanan. Jaraknya kurang lebih 33 kilometer.
Selain itu medan yang terjal dan berbukit-bukit membuat perjalanan tak begitu mulus. Di kanan kiri jalan, menuju kampus, Eko harus senam jantung melihat jurang.
Baca juga: Buruh Perkebunan Sawit di Ketapang Digigit Buaya Selama 90 Menit, Diselamatkan oleh Temannya
Meski demikian, desa kelahiran Eko, selama ini dikenal sebagai sentra pembuatan gula aren alami dan penghasil buah kolang-kaling. Karena kolang-kaling hanya diproduksi saat bulan puasa, saat ini desa Giyombong secara penuh warganya memproduksi gula aren.
Setelah pulang kuliah, demi memenuhi kebutuhan pembayaran sekolah, Eko rela menjadi buruh penyadap air Nira di desanya. Ia biasanya mengambil air nira di kebun milik tetangganya.
"Ya biasanya lima sampai enam pohon dalam sehari," kata Eko saat ditemui dirumahnya pada Minggu (30/7/2023).
Di kampung ini, para penyadap air nira tak ada yang dibayar dengan uang. Para buruh seperti Eko, akan dibayar dengan air nira dari yang berhasil dipetik oleh penyadap.
"Biasanya air nira bisa dipanen selama 30 hari. Selama 3 hari awal, air nira akan diberikan kepada pemilik pohon, 3 hari selanjutnya air nira saya olah sendiri, begitu seterusnya sampai selesai," kata Eko.
Dalam mengolah air nira ini, Eko tak sendirian, ia dibantu oleh ibunya Indah Yumiati (42). Sementara itu ayahnya bekerja sebagai petani dan peternak kambing.
Baca juga: Cerita Nurkholis 11 Tahun Jadi Buruh di Kebun Sawit, Diberi Upah Rp 140 Per Kg
"Ya dibantu ibu kalo soal mengolah, nanti hasilnya bisa tambah-tambah untuk bayar kuliah," kata Eko.
Dalam bekerja memanjat pohon aren, eko hanya mengandalkan alat keamanan seadanya. Ia menggunakan tali yang diikatkan di tubuhnya sebelum memanjat.
Biasanya Eko bekerja selepas selesai kuliah hingga sore tiba. "Mayoritas di sini memang masih tradisional mas," kata Eko selepas turun dari pohon aren.
Eko berharap, dari hasil air nira yang diolah menjadi gula aren ini dapat membantu perekonomian keluarga. Ia berharap segera lulus kuliah dan dapat bekerja di kantor-kantor perusahaan.
"Setidaknya setelah lulus kuliah nanti saya bisa dapat kerja di kota. Karena saya masih punya adik yang masih duduk di bangku SMP," harap Eko.
Keluarga Eko mendapat keahlian membuat gula aren ini dari neneknya yang diajarkan secara turun temurun dikeluarganya. Seolah sudah menjadi bagian hidupnya, membuat gula aren dilakukannya setiap hari.
Baca juga: Buruh Harian di Makassar Dikeroyok, Kepalanya Diinjak Saat Menagih Utang