PIDIE, KOMPAS.com-Presiden Joko Widodo sempat berbincang-bincang dengan dua mantan mahasiswa yang menjadi eksil di luar negeri setelah Peristiwa 1965.
Mereka adalah Yaroni Suryo Martono dan Sudaryanto Yanto Priyono.
Saat Peristiwa 1965 terjadi Suryo sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Ekonomi Cekoslavia (saat ini Ceko).
Dia mendapatkan beasiswa ikatan dinas dari Pemerintah Republik Indonesia kala itu untuk belajar di luar negeri sehingga dapat mengabdi bagi negara setelah lulus.
Baca juga: Dalam Perjalanan ke Rumoh Geudong, Jokowi Bagi-bagi Kaus ke Warga
Namun, setelah terjadi pergantian pemerintahan di Indonesia, Suryo malah kehilanggan kewarganegaraannya.
"Tidak bisa kembali (ke Indonesia), saya dicabut paspornya. Saya dan 13 teman-teman di PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Ceko dicabut paspornya," sebut Suryo ketika berbincang dengan Jokowi dalam acara peluncuran pelaksanaan rekomendasi penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat nonyudisial di Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023).
Suryo mengatakan, paspornya dicabut karena tidak mau menandatangani persetujuan telah terbentuknya pemerintahan yang baru, menggantikan pemerintahan pimpinan Soekarno.
Sejak saat ini hingga kini sudah berusia 80 tahun, Suryo harus bermukim di Ceko dan terpisah dengan keluarganya di Indonesia.
Cerita serupa juga disampaikan Sudaryanto Yanto Priyono kepada Jokowi.
Mantan Mahasiswa Institut Koperasi Moskow itu sedang menempuh studi dengan beasiswa Pemerintah Uni Soviet saat Peristiwa 1965 terjadi.
Baca juga: Jokowi Resmi Luncurkan Penyelesaian Non-Yudisial untuk 12 Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Sudaryanto yang dianggap tidak lolos screening harus kehilangan status warga negara Indonesianya.
"Saya tidak memenuhi syarat screening, karena ada syarat kutuk Bung Karno. Saya tidak terima, seminggu kemudian paspor saya dicabut," kata Sudaryanto.