SEMARANG, KOMPAS.com - Pukul 04.00 WIB, Muhammad Alim (38) terbangun karena suara alarm handphonenya. Dia harus bergegas ke Masjid Baitussalam, Puspowarno, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng).
Dengan tongkat penyangga, dia berjalan tertatih saat hari masih petang. Alim harus datang ke masjid lebih awal sebelum warga yang menunaikan shalat subuh datang.
Rutinitas seperti itu telah dia jalani selama 15 tahun. Alim merupakan penyandang disabilitas fisik. Kedua kaki dan tangannya cacat sejak lahir, namun semangatnya untuk mengarungi hidup tak bisa disepelekan.
Baca juga: Trauma, Perempuan Disabilitas Korban Pemerkosaan di Sumbawa Jalani Rehabilitasi
"Saya sudah jadi marbot masjid sejak dulu. Selain membersihkan masjid saya juga jadi muadzin,"jelasnya saat ditemui di dekat rumahnya, Kamis (22/6/2023).
Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Alim tak hanya mengandalkan dari marbot masjid. Menurutnya, pekerjaan sebagai marbot masjid dijadikan untuk tabungan di akhirat.
"Jadi marbot sudah sejak lulus SMA di Mranggen," paparnya.
Apalagi, lanjutnya, masjid yang dia bersihkan merupakan masjid yang dekat dengan tempat tinggalnya. Hal itulah yang membuat dia betah melakukan rutinitas seperti itu selama bertahun-tahun.
"Sejak belum punya istri sampai saya punya istri masih jadi marbot masjid," kata dia.
Alim juga tekun berbisnis. Beberapa bisnis usaha seperti jualan celana, pecis, jaga konter, jualan tempe tahu mentah dan jualan tahu bakso juga pernah dia lakukan.
"Usaha terakhir yang gulung tikar tahu bakso," jelas Alim.
Harga daging yang tak stabil membuat bisnis jualan tahu bakso miliknya bangkrut. Ditambah dengan kondisi anaknya yang sakit paru-paru membuat semua alat jualannya dia jual.
"Sudah saya jual semua, sepeda motor roda tiga saya juga saya jual untuk anak saya," paparnya.
Saat ini anak satu-satunya itu masih harus bolak-balik ke RSUP Kariadi untuk menyembuhkan penyakit paru-paru. Hal itu memaksanya untuk terus semangat saat bekerja.
"Harus usaha terus. Sekarang saya tinggal di rumah nenek," imbuh dia.