KOMPAS.com - Masyarakat Kota Pekalongan, khususnya di daerah Krapyak memiliki tradisi Syawalan yang unik, yaitu tradisi Lopisan atau Lopis Raksasa.
Tradisi ini dihelat pada tanggal 8 Syawal, atau seminggu setelah jatuhnya Hari Raya Idul Fitri.
Baca juga: Mengenal Lebaran Ketupat, Tradisi Syawalan Warisan Sunan Kalijaga
Pada momen Lebaran 2023, tradisi Lopisan atau Lopis Raksasa akan kembali dihelat untuk merayakan tradisi Syawalan.
Dikutip dari laman Kemenag Jateng, Humas Lopis Raksasa Krapyak Sembawan, Iwan Kurniawan mengungkapkan bahwa jika dari pemerintah menetapkan Hari Raya Idul Fitri adalah 22 April 2023, maka event lopis raksasa bakal dihelat pada 29 April 2023 nanti.
Baca juga: Tradisi Syawalan di Semarang, dari Berbagi Kupat Jembut Hingga Ritual Sesaji Rewanda
Dilansir dari laman NU Online, tradisi Lopisan atau Lopis Raksasa adalah tradisi khas dari Kelurahan Krapyak, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan pada setiap hari kedelapan di bulan Syawal.
Pada hari istimewa ini, ribuan orang akan berkumpul untuk bisa silaturahmi dan saling berkunjung untuk menikmati segala hidangan yang disediakan warga Kota Pekalongan secara gratis.
Baca juga: Mengenal Lebaran Ketupat, Tradisi Syawalan Warisan Sunan Kalijaga
Ciri khas pelaksanaan tradisi ini adalah kemunculan Lopis Raksasa yang ukurannya mencapai tinggi 2 meter dengan diameter 1,5 meter dan berat mencapai 225 Kg.
Karena ukuran yang sangat besar, maka proses memasak lopis raksasa ini biasanya membutuhkan waktu 4-5 hari dengan menggunakan dandang berukuran besar.
Setelah matang, untuk memindahkannya juga tidak mudah karena harus memakai katrol.
Setelah acara doa bersama, Lopis Raksasa ini akan dipotong oleh Walikota Pekalongan dan dibagi-bagikan kepada warga.
Masyarakat Krapyak juga biasanya turut menyediakan makanan ringan dan minuman secara gratis untuk para pengunjung yang berasal dari Kota Pekalongan dan sekitarnya.
Setelah pembagian lopis selesai, pengunjung biasanya akan menuju ke obyek wisata Pantai Slamaran Indah untuk berlibur bersama keluarga.
Menurut sejarah, sosok yang pertama kali memelopori tradisi Syawalan ini adalah seorang adalah ulama Krapyak yaitu KH Abdullah Sirodj yang masih keturunan Tumenggung Bahurekso (Senopati Mataram).
Mulanya KH Abdullah Sirodj rutin melaksanakan puasa Syawal yang kemudian diikuti masyarakat sekitar Krapyak dan Pekalongan.
Sehingga meski masih dalam suasana hari raya, warga tidak bersilaturahmi demi menghormati yang masih melanjutkan ibadah puasa Syawal.