Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi Korban Salah Sasaran Penembakan Misterius 1982-1985, Ponidjo: Saya Masuk Daftar yang Harus Dibunuh

Kompas.com - 13/04/2023, 07:27 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Rangkaian peristiwa penembakan misterius (1982-1985), - biasanya disingkat 'petrus' - menimbulkan beberapa kasus 'salah sasaran'.

BBC News Indonesia menemui korban tidak bersalah di Yogyakarta, namun namanya tertera dalam 'daftar yang harus dibunuh' oleh militer.

Jalannya agak tertatih dan kadang butuh pegangan. Kulitnya tidak lagi kencang, ada kerutan di dahi. Ingatannya pun mulai memudar.

Namun demikian, pria berusia 88 tahun ini, sulit melupakan apa yang dialaminya 40 tahun silam.

Baca juga: Cerita Keluarga Korban Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Bu Nuk Khawatir Menunggu Sang Suami Pulang

Ketika itu, antara 1982 dan 1985, di Yogyakarta dan sekitarnya, ada operasi pembunuhan terhadap orang-orang yang dicap sebagai preman atau gali - akronim gabungan anak liar.

Nama resminya: Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang digelar oleh Garnisun Kodim 0734 Yogyakarta.

"Itu zaman gali-gali ditembaki... Rasanya miris sekali setiap mengingat kembali masa itu," ungkap Ponidjo 'Brindil', nama pria itu tadi, lirih.

Brindil, rupanya, menyimpan cerita kelam saat Garnisun menyatakan perang melawan gali atau preman di Yogyakarta dan sekitarnya.

Dan, namanya tertera dalam daftar gali yang harus 'dihabisi' — dibunuh.

"Jenengku masuk daftar — nama saya masuk dalam daftar," ungkapnya kepada wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pria ini lebih leluasa berujar dalam bahasa Jawa.

Baca juga: Dianggap Aib, Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Petrus Terkendala

Operasi pembunuhan terhadap terduga kriminal ini dimulai dari wilayah Kodim 0734 Yogyakarta, akhir Maret 1983.

Lalu meluas ke beberapa Kodim di lingkungan Korem 072/Pamungkas, termasuk Kabupaten Kulonprogo, tempat tinggal Brindil.

Walaupun dulu namanya 'disegani' di wilayah Kulon Progo, tapi Brindil mengaku dirinya hanya pedagang sapi, dan bukan gali atau preman, seperti yang dituduhkan.

Usai pemilihan lurah

Semua berawal saat pemilihan lurah yang berlangsung pada 1982 di Desa Sidorejo, Kulon Progo, DI Yogyakarta.

Saat itu, keponakannya menjadi salah satu calon dan Brindil pun ikut berkampanye. Dia mendatangi masyarakat dan meminta dukungan agar memilih keponakannya sebagai lurah.

"Waktu iku ora ngaggo duit koyo saiki, tapi aku nek omong digugu — zaman itu tidak pakai duit seperti sekarang, tapi kalau saya omong banyak yang mengikuti," kata pria yang jebolan Sekolah Rakyat (SR) atau sekarang setingkat SD.

Ketika hajatan politik pemilihan kepala desa ini digelar, operasi pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh preman di Yogyakarta mulai santer terdengar.

Baca juga: Sejarah 12 Pelanggaran HAM Berat yang Disesalkan Jokowi, Tragedi 65-66 hingga Petrus

Kelak peristiwa di Yogyakarta dan sekitarnya ini, juga di beberapa kota besar lainnya di Indonesia, disebut sebagai pembunuhan misterius alias petrus.

Brindil pun mendengarnya. Tapi dia merasa "aman-aman saja", sampai dia tahu namanya masuk dalam daftar gali yang harus dihabisi.

"Rasanya miris sekali setiap mengingat kembali masa itu... ngeri," ujarnya.

Menjadi target Garnisun

Kini, 40 tahun setelah kejadian 'salah sasaran' itu, Brindil mengaku sudah berlapang dada dan tidak mempersoalkannya.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Kini, 40 tahun setelah kejadian 'salah sasaran' itu, Brindil mengaku sudah berlapang dada dan tidak mempersoalkannya.
Kabar itu dia dengar dari kantor kelurahan setempat. Kebetulan sang lurah terpilih adalah keponakannya sendiri.

"Kulo dilayangi, dianggep gali Sidorejo — saya diberi surat, dianggap sebagai gali Sidorejo," kata Brindil.

Lurah Sidorejo, yang tak lain keponakan Brindil sendiri, bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa. "Lurahe malah nangis, bingung," cerita Brindil.

Brindil mengaku berusaha bersikap tenang lantaran dirinya bukan gali. Tapi, sebagai manusia biasa, Brindil juga cemas karena sebagian orang-orang yang dicap gali saat itu berakhir tewas ditembak petugas Garnisun.

"Kabare gali-gali biyen lak ditembaki, lak yo wedi toh — kabarnya gali-gali saat itu kan ditembak mati, jadi takut juga," kata Brindil.

Baca juga: Penembakan Misterius (Petrus): Latar Belakang dan Dampaknya

Dihadapkan teror seperti itu, Brindil mengaku bingung dan kesusahan. Dia juga merasa tak ada orang yang bisa menolongnya.

Tapi dia tidak mau lari dan bersembunyi, seperti yang dilakukan orang-orang lain yang berada di 'posisi' yang sama seperti dia.

Lalu, Brindil memutuskan mendatangi Kodim 0731 Kulonprogo di Wates. Keputusan ini diambilnya karena dia mengaku tidak bersalah.

"Ke sana [ke kantor kodim] menjelaskan, daripada salah sasaran. Kenyataannya saya juga bukan gali," ujarnya.

Kini, puluhan tahun kemudian, Brindil menganggap pilihannya melapor ke Kodim 0731, merupakan pilihan tepat.

"Kalau memang saya orang 'kotor', ketika mati tertembak kan jelas siapa pelakunya. Maka saya menghadap Kodim," jelasnya.

Baca juga: Wiranto: Tidak Mudah Menuntaskan Kasus Penembakan Misterius 1982

Di sana, Brindil pun menjelaskan bahwa dirinya bukanlah gali. Dia menekankan bahwa dia tidak pernah merampok, menjambret, meminta jatah keamanan toko, atau memalak para sopir angkutan.

"Saya bakul sapi," tegasnya berulang-ulang di hadapan petugas.

Usai diperiksa di kantor Garnisun, Brindil disuruh pulang dan diminta melapor setiap hari selama sepekan.

Maka setiap hari, setiap jam delapan pagi, Brindil berjalan kaki sekitar 17km menuju kantor Kodim. Dia hanya disuruh tanda tangan, lalu pulang.

Selama satu minggu, Brindil mematuhi perintah itu untuk membuktikan dirinya memang tidak bersalah.

"Saya punya pedoman, yakin tidak pernah berbuat jahat kepada orang lain," katanya.

Baca juga: Desakan Komnas HAM Agar Pemerintah RI Cegah Impunitas Pelaku Pelanggaran HAM

"Saya minta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa. Saya jalani semuanya dengan tabah," imbuhnya, kali ini seraya tersenyum.

"Saya korban salah sasaran"

Di hari terakhir 'wajib lapor' di kantor Garnisun, dia diberi amplop berisi surat. Tapi dia tidak tahu apa isinya.

Brindil diminta menyerahkan surat itu ke kantor koramil di wilayah itu.

Keyakinan dirinya bahwa dia tidak bersalah, akhirnya diakui pejabat koramil setempat. Sang komandan menyebut Brindil sebagai korban salah sasaran.

"Pak Koramil cerita, katanya 'salah sasaran'. Saya tidak 'merah', tidak apa-apa. Sudah terima saja, tidak apa-apa," ungkapnya, mengulang apa yang diucapkan sang komandan.

"Tidak 'merah' maksudnya bagaimana, saya juga tidak paham," Brindil — bapak sembilan anak dan 22 cucu ini —menambahkan.

Apapun, mendengar pernyataan itu, Brindil merasa amat lega. Usahanya membuktikan bahwa dia bukan gali, berhasil.

Baca juga: Catatan Amnesty International atas Pelanggaran HAM di Papua pada 2022-2023

'Garnisun tidak punya parameter yang jelas'

Harian 'Kedaulatan Rakyat, 5 April 1983, menurunkan berita utama dengan judul 'Semua gali supaya segera menyerah'.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Harian 'Kedaulatan Rakyat, 5 April 1983, menurunkan berita utama dengan judul 'Semua gali supaya segera menyerah'.
Bagaimanapun, kasus yang dialami Brindil membuktikan bahwa daftar orang-orang preman yang harus dihabisi, sulit untuk dipertanggungjawabkan, kata Nur Ismanto, eks aktivis LBH Yogyakarta, yang dulu mengadvokasi kasus korban OPK.

Beruntung Brindil tidak langsung dieksekusi mati. Tetapi menurut Nur Ismanto, sangat mungkin ada kasus serupa Brindil yang nasibnya naas, yaitu mati ditembak.

"Bisa saja terjadi salah sasaran dan potensinya ada," kata Nur Ismanto

Menurutnya, Garnisun tidak punya parameter jelas tentang apa itu gali sehingga potensi kesalahannya besar.

Dan itu memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang, karena faktor "tidak suka" dengan orang lain, atau "musuh pribadi".

"Dan potensi kesalahan menjadi besar kalau cepat atau langsung dieksekusi. Apalagi ini tanpa prosedur hukum," tandas Nur Ismanto.

Baca juga: Kick Off Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Dimulai Setelah Lebaran

Merasa difitnah

Setelah melewati masa-masa mengerikan, Brindil melanjutkan aktivitasnya sebagai bakul sapi. Tak ada masyarakat yang menjauhinya atau mendiskriminasinya. Semua berjalan seperti biasa, katanya.

Brindil mencoba berpikir, mengapa dia bisa sampai menjadi korban salah sasaran.

Dia menduga, ada orang tidak senang kepadanya lalu memfitnah. Apalagi peristiwa itu setelah pemilihan kepala desa pada 1982.

Tapi Brindil tak mau ambil pusing. Kalaupun benar dia difitnah, dia tak lagi mempersoalkannya. Toh semua telah terlewati, dan terbukti dia bukan gali.

Baca juga: Komnas HAM Buka Peluang Usut Ulang Tragedi Kanjuruhan, Cari Unsur Pelanggaran HAM Berat

'Terserah bapak Presiden'

Kini, 40 tahun setelah kejadian 'salah sasaran' itu, Brindil mengaku sudah berlapang dada dan tidak mempersoalkannya.

Dia malah tidak tahu bahwa Presiden Joko Widodo — atas nama negara — telah mengakui dan menyesalkan terjadinya beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, di antaranya penembakan misterius (1982-1985).

Seperti diketahui, Presiden Jokowi kemudian menjanjikan untuk memulihkan para korban dan keluarganya dalam berbagai peristiwa itu, termasuk barangkali yang dialami Brindil saat itu.

Saat ini, sejumlah kementerian dan otoritas lainnya, termasuk pemerintah daerah, untuk menindaklanjuti kebijakan non yudisial dalam menyelesaikan beberapa pelanggaran HAM di masa lalu.

Sampai awal April 2023, belum ada tindakan kongkret yang bakal diberikan kepada korban dan keluarganya.

Baca juga: Komnas Perempuan Soroti Ketidakjelasan Perlindungan Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Para pegiat HAM mengatakan, luasnya dimensi dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, membuat setiap korban memiliki situasi dan kebutuhan berbeda.

Di sinilah, janji pemulihan terhadap korban dan keluarganya, tidak bisa disamakan.

Apapun, atas berbagai kebijakan yang akan ditempuh pemerintah, Brindil tak mau menuntut apa-apa, walau cap gali yang ditimpakan kepadanya itu dahulu bisa berdampak kepada kematiannya,

"Saya tidak menuntut apa-apa. Kalau menuntut malah tidak baik," ujarnya sambil menunjukkan jari telunjuk ke bagian hatinya.

Dia merasa beruntung karena sudah bisa melewati masa-masa itu dengan selamat. Dan bisa hidup tenang menyaksikan anak cucunya hidup rukun dan tidak kurang suatu apa, itu sudah cukup bagi Brindil.

Soal 'kerugian' yang dialaminya, Brindil cuma menyebut dia merasa lelah saat harus berjalan kaki bolak-balik ke kantor Garnisun di Yogyakarta.

Baca juga: Jokowi Teken Keppres 4/2023, Bentuk Tim Pemantau Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat secara Non-Yudisial

Dia membayangkan, betapa jauhnya perjalanan yang harus dia tempuh, serta betapa dalamnya tekanan batin yang dialaminya.

"Berjalan kaki selama seminggu dan tidak bisa kerja [untuk menafkahi keluarga]," ujar Brindil lantas terdiam.

Kalaupun pemerintah berniat baik dengan memperhatikan para korban penembakan misterius, termasuk dirinya, Brindil sangat berterima kasih.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Digigit Anjing Rabies, Anak 8 Tahun di Kalbar Meninggal Dunia

Digigit Anjing Rabies, Anak 8 Tahun di Kalbar Meninggal Dunia

Regional
Raker Komwil I Apeksi 2024, Kota-kota Diingatkan untuk Kelola APBD secara Benar

Raker Komwil I Apeksi 2024, Kota-kota Diingatkan untuk Kelola APBD secara Benar

Regional
Penerbangan Internasional di Jateng Sepi Peminat, Status Bandara Jadi Domestik

Penerbangan Internasional di Jateng Sepi Peminat, Status Bandara Jadi Domestik

Regional
Datang ke Aceh, Anies dan Muhaimin Ucapkan Terima Kasih

Datang ke Aceh, Anies dan Muhaimin Ucapkan Terima Kasih

Regional
Mantri Hutan Buru Pendaki yang Nyalakan “Flare” di Gunung Andong

Mantri Hutan Buru Pendaki yang Nyalakan “Flare” di Gunung Andong

Regional
Kecelakaan Maut Ambulans Vs Truk di Tol Batang-Semarang, 1 Penumpang Tewas

Kecelakaan Maut Ambulans Vs Truk di Tol Batang-Semarang, 1 Penumpang Tewas

Regional
Napi Lapas Kedungpane Semarang Ditemukan Tewas Gantung Diri di Kamar Mandi

Napi Lapas Kedungpane Semarang Ditemukan Tewas Gantung Diri di Kamar Mandi

Regional
Kades di Flores Timur Jadi Tersangka Korupsi Dana Desa Rp 670 Juta

Kades di Flores Timur Jadi Tersangka Korupsi Dana Desa Rp 670 Juta

Regional
Terima Opini WTP dari BPK, Mas Dhito: Komitmen Pemkab Kediri Laksanakan Tata Keuangan Daerah

Terima Opini WTP dari BPK, Mas Dhito: Komitmen Pemkab Kediri Laksanakan Tata Keuangan Daerah

Regional
Korupsi Pembangunan Hotel Rp 22,6 Miliar, Eks Bupati Kuansing Ditahan

Korupsi Pembangunan Hotel Rp 22,6 Miliar, Eks Bupati Kuansing Ditahan

Regional
Kronologi Siswa SMP Bunuh Bocah 7 Tahun di Sukabumi, Korban Disodomi Dua Kali oleh Pelaku

Kronologi Siswa SMP Bunuh Bocah 7 Tahun di Sukabumi, Korban Disodomi Dua Kali oleh Pelaku

Regional
Ibu Rumah Tangga Pengedar Sabu di Balikpapan Ditangkap, Barang Bukti 33,5 Gram

Ibu Rumah Tangga Pengedar Sabu di Balikpapan Ditangkap, Barang Bukti 33,5 Gram

Regional
Truk Tabrak Truk di Bawen Tewaskan 1 Orang, Warga: Dari Atas Kencang, lalu 'Bres'

Truk Tabrak Truk di Bawen Tewaskan 1 Orang, Warga: Dari Atas Kencang, lalu "Bres"

Regional
Pegawai Ditangkap Kasus Perdagangan Burung, Bea Cukai Kalbagbar: Bukan Penyelundupan

Pegawai Ditangkap Kasus Perdagangan Burung, Bea Cukai Kalbagbar: Bukan Penyelundupan

Regional
Penimbun Solar Subsidi Ditangkap Saat Tidur di Salatiga, Kantongi 19 Nomor Pelat Kendaraan

Penimbun Solar Subsidi Ditangkap Saat Tidur di Salatiga, Kantongi 19 Nomor Pelat Kendaraan

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com