Adanya eksekusi non tembak bagi orang-orang itu, membuat mereka yang akan keluar LP, merasa ketakutan, katanya.
Baca juga: Pemerintah Akan Temui Korban Pelanggaran HAM Berat di Luar Negeri, Beri Jaminan sebagai WNI
Tak sedikit yang meminta perlindungan ke LBH Yogyakarta. Mereka, kata Ismanto, sebelum bebas sudah berkirim surat ke LBH.
Dan orang tersebut ketika keluar LP dijemput LBH dan diantar pulang ke rumah. "Dan ada beberapa orang yang akhirnya selamat," ungkapnya.
Dalam penelitiannya, Yustina juga menyebut ada korban OPK yang dibuang ke Luweng di Semanu, Gunungkidul.
Narasumber Yustina dari aparat kepolisian mengatakan, mereka yang dimasukkan dalam luweng adalah orang yang tidak mempan ketika dipukul menggunakan besi, dan orang yang kebal peluru.
Mereka dari berbagai kota, di antaranya Magelang, Semarang, dan Yogyakarta.
"Korban dibawa dan diterjunkan ke Luweng Semanu, dalam kondisi kaki tangan terikat," kata narasumber Yustina.
Baca juga: Pemerintah Sebut Sudah Antisipasi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non-yudisial Menuai Kritik
Tentang siapa saja korban yang dimasukkan ke dalam luweng di Gunungkidul, Ismanto tidak berani memastikan kriterianya, apakah hanya narapidana yang sudah keluar dari LP lalu dijemput aparat, atau ada korban dengan kriteria lain.
"Itu yang tahu hanya mereka," kata Ismanto.
Operasi gabungan memberantas orang-orang yang dicap gali di Yogyakarta dan sekitarnya terus dilakukan oleh Garnisun.
Hal itu dikatakan Hasbi kepada wartawan, dan diberitakan sejumlah media, seperti Kompas dan Kedaulatan Rakyat,15 April 1983.
"Gebrakan ini akan terus kita lakukan. Hanya pola sistem serta titik berat operasi, tentunya bakal selalu disesuaikan dengan kebutuhan," kata Letkol CZI Mohammad Hasbi.
Di hadapan lebih dari 25 wartawan, Hasbi menyebut, landasan hukum operasi yang ditanganinya adalah 'Operasi Clurit'. Dan penggunaan metode shock therapy, menurut Hasbi, hasilnya "memuaskan".
Seminggu lebih setelahnya, Kamis, 28 April 1983, Pangkowilhan II, Letjen TNI Yogie Suardi Memet melakukan pertemuan dengan Wakil Gubernur DIY Paku Alam VIII di Gedung Wilis Yogyakarta.
Usai pertemuan, Yogie mengatakan, OPK yang masih berlangsung di Yogyakarta, sangat dimungkinkan diterapkan di kota-kota lain. Hal ini diberitakan harian Kompas, 29 April 1983.
"Tujuannya baik, untuk menciptakan suasana tenang dalam masyarakat. Karena itu tak ada jeleknya dikembangkan di kota-kota lain. Kita sekarang bisa melihat masyarakat merasa aman," ujar Yogie.
Danrem 072/Pamungkas Kolonel Siswadi mengatakan, OPK yang diawali di wilayah Kodim 0734 Yogyakarta pada akhir Maret, telah diperluas.
Mencakup beberapa Kodim di lingkungan Korem 072/Pamungkas, seperti di Bantul, Sleman, Gunungkidul, dan Kulonprogo.
Baca juga: Jokowi Diminta Buktikan Niat Politik Selesaikan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat
Menurutnya, ada beberapa tahapan dalam OPK. Tahap pemberian shock therapy selama tiga minggu, dan tahap pembinaan di minggu kelima.
Dalam tahap ini, sejumlah instansi pemerintah terlibat. Seperti dinas sosial, tenaga kerja, pendidikan masyarakat serta pemerintah daerah.
Beberapa hari setelah ucapan Pangkowilhan II Letjen TNI Yogie Suardi Memet, muncul kejadian serupa di Jakarta.
Orang-orang yang dicap sebagai preman dan residivis mati tertembak secara misterius, demikian laporan Tempo edisi Mei 1983 yang mengulasnya.
Banyak yang menduga, Jakarta menerapkan operasi seperti di Yogyakarta. Salah seorang yang meyakininya adalah Adnan Buyung Nasution, Ketua Dewan Pengurus YLBHI.
"Berdasarkan keterangan Pangkowilhan II belum lama ini," kata Adnan kepada Majalah Tempo, saat itu.
Menurut Adnan, modus operasinya sama: korban diciduk, dibunuh, dan mayatnya dilempar begitu saja. Kemudian diumumkan bahwa korban tembakan adalah seorang residivis.
Tudingan itu dibantah Kepala Daerah Kepolisian VII Metro Jaya Mayjen Pol. Sudjoko.
Menurutnya, pada pertengahan Mei 1983, di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok, memang mengadakan lagi Operasi Clurit, karena tingkat kejahatan cenderung meningkat.
Tapi bukan seperti operasi di Yogyakarta, ujar Sudjoko.
Menurutnya, Jakarta bukan Yogyakarta. Tidak perlu sistem tembak di tempat. Cukup dengan ditangkap dan ditahan.
Katanya, orang-orang yang mati tertembak itu, apakah tertembak petugas atau penembak gelap.
Baca juga: Jokowi Diminta Buktikan Niat Politik Selesaikan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat
Tentang Operasi Clurit, harian Kompas,17 Februari 1983 memberitakan bahwa Operasi Clurit telah dilaksanakan sejak 21 Januari 1983.
Menurut Laksamana TNI Sudomo, selaku Pangkopkamtib, Operasi Clurit bukanlah gerakan yang "panas-panas tahi ayam", tapi akan terus dilanjutkan secara sistematis sepanjang tahun.
Menurut Suharto, peristiwa yang ramai dibicarakan media sebenarnya juga tidak misterius.
Dia berujar, latar belakang peristiwa itu didahului ketakutan yang dirasakan rakyat. Seperti adanya perampokan, pembunuhan, dan ancaman-ancaman dari orang jahat.
Dia berargumen, mereka tidak hanya melanggar hukum, tapi sudah melebihi batas perikemanusiaan.
"Umpamanya, orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian masih dibunuh," kata Suharto kepada G. Dwipayana, dan Ramadhan K.H. yang menulis buku otobiografinya.
Bagi Suharto, hal itu sudah keterlaluan dan tidak bisa didiamkan. "Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas," katanya.
Baca juga: Daftar Pelanggaran HAM Berat di Papua
Tindakan tegas yang Suharto maksud adalah dengan kekerasan.
"Tapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak."
Tentang mayat-mayat yang ditinggalkan begitu saja di jalan atau tergeletak di pinggir jalan, menurut Suharto, itu untuk shock therapy.
"Supaya banyak orang mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya," katanya.
"Maka meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu," imbuh Suharto seperti tertulis dalam otobiografinya yang diterbitkan pada 1989.
Dan di Yogyakarta, tindakan dengan metode shock therapy itu terus digencarkan oleh garnisun.
Metode shock therapy yang digunakan Presiden Suharto untuk meredakan kejahatan terbilang 'berhasil'. Dari segi jumlah, angka kejahatan menurun di daerah yang menjadi OPK, seperti di Yogyakarta.
Harian Kompas, 25 April 1983, memberitakan, di Yogyakarta tidak ada lagi kasus perampokan, penodongan, dan pemerasan, di minggu keempat pelaksanaan OPK.
Sedangkan kasus jambret, pencurian kendaraan bermotor, sampai pada 23 April, masing-masing hanya terjadi sekali dan dua kali. Sebelum OPK, perampokan rata-rata per bulannya terjadi 40 kali.
Wadanresta 961, Mayor (Pol) Suharto, mengatakan, pada Januari-Februari, penjambretan rata-rata terjadi 20 kali. Maret menurun menjadi delapan kali, dan April hanya masuk laporan sekali.
Harian Kompas, 29 April 1983, kembali memuat berita tentang turunnya angka kejahatan di Semarang, Solo, dan Yogyakarta pada Maret-April.
Menurut Kasi Pendak IX Jawa Tengah, Mayor Pol. Haryono, turunnya angka kriminalitas di tiga kota besar itu, menjadi barometer turunnya angka kriminalitas di Jawa tengah.
Haryono mengatakan, turunnya angka kriminalitas di Yogyakarta, Solo, dan Semarang, merupakan hasil dari langkah tegas aparat keamanan memberantas kriminalitas.
"Para penjahat yang ketakutan itu melarikan diri dan bersembunyi ke daerah lain, menghindari penangkapan aparatur keamanan di Jawa Tengah dan Yogyakarta," katanya.
Tapi Adnan Buyung Nasution, dalam Tempo edisi Mei 1983, mengatakan, operasi semacam itu serupa tindakan main hakim sendiri, dan menghambat usaha meningkatkan kesadaran hukum masyarakat seperti dicanangkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Buyung Nasution, yang saat itu menjabat Ketua Dewan Pengurus YLBHI, melihat masyarakat pun menyambut positif operasi pemberantasan gali, karena hasilnya yang konkret, cepat, dan langsung.
Tapi dalam negara hukum, operasi semacam itu sama sekali tidak dibenarkan.
"Penjahat pun berhak mendapatkan keadilan," katanya.
Meski mendapat kritik, OPK tetap berlangsung. Komandan Garnisun M. Hasbi dalam Koran Kompas, 15 April 1983, mengatakan, operasi tak akan dihentikan.
Dan dia menegaskan, akan terus mengejar para gali sampai keresahan masyarakat hilang.
Kini, tragedi itu sudah 40 tahun berlalu. Presiden Joko Widodo mengakuinya sebagai pelanggaran HAM berat, serta menyesalkannya.
Presiden berjanji akan menyelesaikannya di luar kerangka hukum, yakni dengan membentuk tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu (PPHAM).
Walaupun tidak menutup penyelesaian secara hukum, ada suara-suara yang berkembang di aparat penegak hukum, kendalanya ada pada pembuktian.
Baca juga: Laporan PPHAM: Tak Ada Faktor Tunggal Penyebab Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
Sebuah alasan yang sejak awal dipertanyakan para pegiat HAM.
"Ketika memang pelakunya masih ada, ya tepat apabila harus diadili dulu," kata Nur Ismanto, eks pegiat LBH Yogyakarta, yang dulu terlibat upaya melindungi orang-orang yang dulu dicap gali dan terancam kehilangan nyawanya.
"Hal itu penting sebagai satu pembelajaran sejarah hukum di Indonesia terhadap penegakan HAM," tandasnya.
Wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, melakukan liputan ini dan menuliskannya untuk BBC News Indonesia.
Ini adalah seri kedua dalam liputan khusus tentang 'Penembakan Misterius 1982-1985'.
Silakan baca seri pertamanya: Pembunuhan misterius 1982-1985: 'Walau bapak saya gali, dia tak bisa dibunuh tanpa diadili dulu'
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.