Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi Korban Salah Sasaran Penembakan Misterius 1982-1985, Ponidjo: Saya Masuk Daftar yang Harus Dibunuh

Kompas.com - 13/04/2023, 07:27 WIB
Rachmawati

Editor

"Tapi kulo sampun sumeleh lan legowo, terserah presiden — Tapi saya sudah menerima dan ikhlas dan berlapang hati," ujar Brindil dengan nada suara yang nyaris tidak terdengar. Dia kemudian tersenyum kecil.

"Di Yogyakarta, penembakan ke gali dilakukan terbuka"

Istilah 'penembakan misterius' (1982-1985), agaknya, kurang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya saat itu.

"Di Yogyakarta tidak ada yang [penembakan yang dilakukan secara] misterius. Penembakannya dilakukan secara terbuka," kata Nur Ismanto, 64 tahun, eks anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, awal Februari 2023.

"Banyak kliping berita soal itu," tambahnya.

Aksi menghabisi gali-gali di wilayah itu, menurutnya, dilakukan secara terbuka dalam Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang digelar oleh Garnisun Kodim 0734 Yogyakarta.

Gali merupakan istilah lokal yang merupakan akronim dari gabungan anak liar — sebutan untuk preman atau pelaku kriminal.

Baca juga: Di Sidang Dewan HAM PBB, Menlu Sebut Jokowi Sesali 12 Pelanggaran HAM Indonesia Masa Lalu

Wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, melakukan riset dengan membaca ulang terbitan sejumlah media massa saat itu yang memberitakan peristiwa tersebut.

Di Jogja Library Center, Furqon menemukan media massa seperti Koran Kompas, Kedaulatan Rakyat (KR), Berita Nasional (Bernas), serta Majalah Tempo meliput operasi pemberantasan kejahatan (OPK) itu, yang sekaligus menguatkan bahwa operasi itu 'resmi' dan 'terbuka'.

Berikut petikan berbagai liputan media-media tersebut yang dikumpulkan oleh Furqon:

"Kalo tidak menyerah, kami dijemput"

Masih dalam arsip majalah Tempo edisi yang sama, menurut Hasbi, Garnisun "ikut turun", karena terbatasnya tenaga polisi.

Selain Garnisun, Hasbi juga mengatakan operasi gabungan melibatkan masyarakat sehingga kuat untuk menghadapi para gali.

"Cukup tangguh untuk menghadapi semua gali," kata Hasbi.

Dalam penelitian Yustina Devi Ardhiani, berjudul Potret Relasi Gali-Militer di Indonesia:Ingatan Masyarakat Yogyakarta tentang Petrus (1983), dia mewawancarai seorang aparat kepolisian yang pada 1983 terlibat pelaksanaan OPK.

Dia mendapat pengakuan, dalam operasi gabungan itu, yang melakukan "eksekusi tembak adalah tentara", dan menjadi tugas aparat kepolisian untuk "mengambil bangkai" korban penembakan.

"Pada zaman OPK, itu operasi tembak di tempat, saya itu setiap hari ikut mengambil bangkai. Zaman itu, polisi kerjaannya mengambil [jenazah korban penembakan] di jalan," kata salah seorang narasumber Yustina.

Baca juga: Dari Plaza de Mayo ke Seberang Istana, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM

Berawal dari kematian Sri Mulyani, korban jambret

Harian 'Kedaulatan Rakyat', 21 Maret 1983.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Harian 'Kedaulatan Rakyat', 21 Maret 1983.
Sejumlah media memberitakan, pada Sabtu malam, 20 Maret 1983, Sri Mulyani, mahasiswi Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogyakarta, "dijambret" oleh dua orang tidak jauh dari Gereja Kotabaru, Yogyakarta.

Dia bersama tunangannya, Eko, mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN), tengah berboncengan naik sepeda motor Yamaha Bebek.

Mereka hendak membeli oleh-oleh untuk keluarga Sri di Cirebon. Awalnya mereka mencari di sekitar Malioboro, tapi tak ada yang cocok.

Mereka pun berniat melanjutkan ke Mirota di Kotabaru. Ketika sampai di samping Gereja Kotabaru, ada dua orang naik motor Honda GL memepet kendaraan mereka, dan menjambret dompet Sri.

Mereka kemudian mengejar pelaku jambret. Di dekat Masjid Syuhada Kotabaru, mereka memergokinya, dan Eko menabrakkan kendaraannya dan terjadilah perkelahian.

Baca juga: Jokowi Teken Inpres Penyelesaian Non-Yudisial untuk Pelanggaran HAM Berat

Eko kewalahan dan berteriak minta tolong. Dan senjata tajam salah seorang penjambret mengenai bagian kepala bawah telinga kanan Sri.

Warga kemudian datang menolong dan berhasil menangkap penjambret. Sri segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan medis.

Sri Mulyani, putri A. Karim, Kepala Dinas P dan K Kabupaten Cirebon, akhirnya meninggal dunia di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta.

Harian Kedaulatan Rakyat dan Kompas memberitakan peristiwa penjambretan yang berujung kematian Sri Mulyani.

Dan Komandan Kodim 0734 Yogyakarta, Letkol CZI M. Hasbi, menjadikannya sebagai alasan memulai OPK.

"Tindakan keras terpaksa dilakukan untuk memberi perlindungan sekaligus menghilangkan keresahan masyarakat," kata Hasbi kepada wartawan, 14 April 1983.

Baca juga: Keadilan Historis Dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

Di Yogyakarta, siapa terduga kriminal yang pertama 'dihabisi'?

Senin, 28 April 1983, sekira pukul 22.00, di lokalisasi Sanggrahan, Yogyakarta, Suwahyono atau Wahyo, hendak meninggalkan tempat itu bersama seorang perempuan.

Saat itu Wahyo dikenal sebagai pentolan gali di Yogyakarta.

Belum sampai keluar lokalisasi, dia dihadang sosok pria yang menggenggam pedang, demikian laporan media saat itu.

Belum sempat terjadi pertarungan, terdengar tembakan peringatan dari petugas Garnisun. Wahyo lalu diringkus, tapi pria berpedang itu tadi dibiarkan melenggang.

Protes Wahyo tak digubris. Wahyo lalu berusaha melepaskan pegangan petugas, dan berhasil. Lalu "dor!" Kakinya dihantam timah panas.

"Lho, kok malah saya yang ditembak," teriak Wahyo. Teriakan Wahyo itu dijawab dengan serentetan tembakan. Dia tersungkur dan tewas bersimbah darah.

Baca juga: Tak Hanya 3, Jokowi Diminta Akui Semua Pelanggaran HAM Masa Lalu di Aceh

Penembakan Wahyo menjadi gong pembuka perang melawan gali melalui OPK yang dipimpin Letkol CZI M. Hasbi, seperti diberitakan sejumlah media kala itu.

Saat pemakaman Wahyo, banyak teman dan koleganya datang melayat. Mereka mengenakan jaket hitam.

Dan, menurut eks pegiat LBH Yogyakarta yang saat itu mengadvokasi kasus pembunuhan orang-orang yang dicap gali, Nur Ismanto, aparat Garnisun memotret wajah-wajah teman Wahyo yang datang bersolidaritas.

"Konon ceritanya, di situlah mereka dipotret semua oleh aparat. Baru muncul rentetan penembakan berikutnya," kata Ismanto.

Tentang 'solidaritas' antar-gali saat pemakaman Wahyo, juga diungkapkan Hasbi dalam pemberitaan Majalah Tempo edisi April 1983.

Meski tidak spesifik menyebut nama, Hasbi mengetahui bahwa gali dari Semarang dan Surakarta datang melayat.

Baca juga: Komnas HAM Minta Dilibatkan Dalam Upaya Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat

"Gali-gali itu juga punya hubungan erat satu sama lain. Gali dari Semarang dan Surakarta banyak yang melayat ketika temannya di Yogyakarta tertembak mati.

"Mereka punya ikatan batin yang kuat. Organisasi mereka mau meniru mafia dan saya lihat jaringan-jaringannya sudah mengakar," ujar Hasbi.

'Berburu' gali usai pemakaman

Harian 'Kompas', 29 April 1983.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Harian 'Kompas', 29 April 1983.
Tak lama setelah meninggalnya Wahyo, orang-orang yang dicap gali tewas dalam operasi yang digelar Garnisun.

Menurut Ismanto, penembakan berikutnya terjadi di sejumlah tempat, seperti di Mandala Krida, Jalan Wonosari, dan tempat lainnya.

Pada Minggu pertama April 1983, sudah ada lima orang yang dicap gali tewas tertembak. Mereka ditembak di bagian perut, hingga jidat.

Seperti Tohirin, warga Bantul yang mati tertembak di jidat, pinggang, dan kakinya. Empat orang lainnya yang disebut "tertembak" adalah Suwahyono, Agus, Surgiyanto, dan Joko Tuko.

Menurut Hasbi, para gali itu tewas tertembak karena melawan atau berusaha melarikan diri saat disergap.

Baca juga: Komnas HAM Akan Samakan Prosedur dengan Kejagung demi Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat

Dia mengaku telah memiliki daftar nama-nama gali, dan meminta mereka untuk menyerah.

"Yang nekat, percayalah, pasti akan kami kejar," kata Hasbi kepada wartawan, 5 April 1983.

Pada pemberitaan Kedaulatan Rakyat, 7 April 1983, Hasbi kembali memperingatkan mereka agar segera menyerahkan diri sebelum "kesabaran aparat negara habis".

Komandan Garnisun Yogyakarta yang pernah menjadi Kodim Cilacap, dan memimpin operasi penangkapan Johny Indo yang lari dari Nusakambangan (1982) ini, mengaku telah mendapat petunjuk dan restu Pangdam VII Diponegoro, Letjen TNI Ismail.

"Kalau sudah diimbau tapi belum mau mengindahkan, maka aparat keamanan yang akan menjemput," katanya.

Baca juga: Jokowi Akan Temui Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu

Dalam pemberitaan itu, nama-nama orang yang masuk daftar 'hitam' atau dicap sebagai gali berjumlah 68 orang. Mereka disebutkan ada yang sudah tewas tertembak atau menyerahkan diri.

Pada hari-hari selanjutnya, sejumlah media selalu menyorot kematian orang-orang yang dicap sebagai gali dalam OPK.

Mengapa ada perbedaan jumlah orang-orang yang dihabisi?

Dalam catatan harian Kompas, 12 April 1983, selama dua minggu operasi pembasmian, ada 11 orang yang dicap sebagai gali tewas tertembak.

Mereka adalah Suwahyono, Agus, Tohirin, Budi Kancil, Slamet Gajah, Suyanto Gareng, Bustanul Arifin, Tutuko, Kojur, Suharno, Sarimun.

Sementara Koran Berita Nasional (Bernas) di hari yang sama, menyebut, selama dua minggu OPK, ada 15 orang yang dicap gali tewas tertembak.

Mereka adalah: Suwahyono, Tohirin, Agus, Kojur, Tetuko, Gareng, Tanul, Slamet Gajah, Budi Kancil, Harno, Sarimun, Manuk, Edi Widiarso, Kelik, dan Lole.

Versi Majalah Tempo edisi Juni 1983, mencatat, Garnisun Yogyakarta yang sejak akhir Maret secara terbuka mengumumkan OPK, telah melumpuhkan 60 gali.

Baca juga: Komnas HAM Catat Ada 6.000 Korban Pelanggaran HAM Berat

Perbedaan jumlah ini terjadi lantaran Hasbi tidak pernah merilis rinci berapa jumlah orang yang dicap sebagai gali, tewas tertembak, dan berapa orang yang telah menyerahkan diri ke petugas.

"Dari para korban saya pastikan, tak ada tembakan keliru. Mereka semua memang sudah tercatat sering membikin onar di lingkungan sekelilingnya," kata Hasbi kepada sejumlah jurnalis, 15 April 1983, tanpa menyebut jumlah orang yang dicap gali telah tewas tertembak.

Komandan Korem 072/Pamungkas, Kolonel Siswadi juga tak mau merinci jumlah orang yang tertembak.

Menurutnya, para gali selain meninggal tertembak petugas Garnisun, juga meninggal karena dikeroyok massa atau oleh teman-temannya sendiri.

"Kelompok mereka juga saling bersaing, saling menjatuhkan satu sama lain," kata Siswadi, seperti diberitakan surat kabar Kompas, 29 April 1983.

Sementara dalam penelitian Yustina, narasumber dia menyebut, setiap pagi patroli mengambil mayat di pinggir jalan, di dalam karung goni. Setiap hari, lebih dari 10, dan itu berlangsung kurang lebih dua bulan.

"Hitung sendiri kira-kira berapa," kata narasumber Yustina.

Baca juga: Jokowi: Saya Minta Seluruh Kementerian Tindaklanjuti soal Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat

Berakhir di Luweng Semanu, Gunung Kidul

Orang-orang yang dicap sebagai gali tak hanya dieksekusi tembak, ada juga yang dieksekusi mati dengan cara dimasukkan dalam luweng atau gua vertikal. (Foto: Luweng atau gua Grubug di Gunungkidul, DIY).dokumen BBC Indonesia Orang-orang yang dicap sebagai gali tak hanya dieksekusi tembak, ada juga yang dieksekusi mati dengan cara dimasukkan dalam luweng atau gua vertikal. (Foto: Luweng atau gua Grubug di Gunungkidul, DIY).
Menurut Ismanto, orang yang dicap sebagai gali tak hanya dieksekusi tembak, ada juga yang dieksekusi mati dengan cara dimasukkan dalam luweng atau gua vertikal yang terletak di Semanu, Gunungkidul, DIY.

"Dulu itu sempat muncul eksekusi non tembak," kata Ismanto.

Mereka ini orang-orang yang masuk daftar OPK, tapi keberadaannya sudah di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP).

Dan ketika masa hukumannya habis, mereka sudah dijemput tapi tidak pernah sampai rumah. Kabarnya, mereka dieksekusi dengan cara dimasukkan ke dalam luweng.

"Saya pernah ke sana, warga sana membenarkan. Dulu kalau hujan itu baunya amis darah," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MK Tolak Permohonan PHPU, KPU Banyumas Segera Tetapkan Caleg Terpilih

MK Tolak Permohonan PHPU, KPU Banyumas Segera Tetapkan Caleg Terpilih

Regional
16 Pekerja Migran Nonprosedural di Batam Berenang dari Tengah Laut

16 Pekerja Migran Nonprosedural di Batam Berenang dari Tengah Laut

Regional
Pimpinan Ponpes di Inhu Cabuli 8 Siswanya

Pimpinan Ponpes di Inhu Cabuli 8 Siswanya

Regional
'Long Weekend', Daop 5 Purwokerto Tambah Tempat Duduk KA Tujuan Jakarta dan Jember

"Long Weekend", Daop 5 Purwokerto Tambah Tempat Duduk KA Tujuan Jakarta dan Jember

Regional
Rem Blong, Truk Trailer Tabrak Motor di Magelang, 1 Orang Tewas

Rem Blong, Truk Trailer Tabrak Motor di Magelang, 1 Orang Tewas

Regional
Pengakuan Kurir Sabu yang Ditangkap di Magelang: Ingin Berhenti, tapi Berutang dengan Bandar

Pengakuan Kurir Sabu yang Ditangkap di Magelang: Ingin Berhenti, tapi Berutang dengan Bandar

Regional
Jadi Tersangka Kasus Korupsi Dana Internet Desa, Mantan Wabup Flores Timur Ajukan Praperadilan

Jadi Tersangka Kasus Korupsi Dana Internet Desa, Mantan Wabup Flores Timur Ajukan Praperadilan

Regional
Pengakuan Pelaku Penyelundupan Motor Bodong ke Vietnam, Per Unit Dapat Untung Rp 5 Juta

Pengakuan Pelaku Penyelundupan Motor Bodong ke Vietnam, Per Unit Dapat Untung Rp 5 Juta

Regional
Puluhan Anak Usia Sekolah di Nunukan Memohon Dispensasi Nikah akibat Hamil di Luar Nikah

Puluhan Anak Usia Sekolah di Nunukan Memohon Dispensasi Nikah akibat Hamil di Luar Nikah

Regional
Jurnalis NTB Aksi Jalan Mundur Tolak RUU Penyiaran

Jurnalis NTB Aksi Jalan Mundur Tolak RUU Penyiaran

Regional
Buntut Video Viral Perundungan Siswi SMP di Tegal, Orangtua Korban Lapor Polisi

Buntut Video Viral Perundungan Siswi SMP di Tegal, Orangtua Korban Lapor Polisi

Regional
Video Viral Pj Bupati Kupang Marahi 2 ASN karena Swafoto Saat Upacara Bendera

Video Viral Pj Bupati Kupang Marahi 2 ASN karena Swafoto Saat Upacara Bendera

Regional
Terbukti Berzina, Mantan Suami dan Ibu Norma Risma Divonis 9 dan 8 Bulan Penjara

Terbukti Berzina, Mantan Suami dan Ibu Norma Risma Divonis 9 dan 8 Bulan Penjara

Regional
DBD Merebak, 34 Warga Sumsel Meninggal Dunia

DBD Merebak, 34 Warga Sumsel Meninggal Dunia

Regional
Pekan Sawit 2024 di ATI Padang, Menperin Fokuskan Kebijakan Hilirisasi

Pekan Sawit 2024 di ATI Padang, Menperin Fokuskan Kebijakan Hilirisasi

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com