SAMARINDA, KOMPAS.com – Hamidah (60), warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten PPU yang menjadi lokasi Ibu Kota Negara (IKN), terpaksa kehilangan sumber penghasilan karena satu-satunya kebun yang menghidupi dirinya dan anaknya diganti rugi pemerintah karena masuk Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN.
Suami Hamidah telah lama meninggal. Hamidah tinggal dengan anak perempuan semata wayang dan dua cucu. Anak Hamidah pun, cerai dengan suaminya. Kebutuhan hidup mereka, masih jadi tanggungan Hamidah dari hasil berkebun.
Namun, sejak dibayarkan Desember 2022 lalu, Hamidah kini menganggur tak ada lagi kebun. Untuk kebutuhan sehari-hari, Hamidah menggunakan uang ganti rugi dari pemerintah yang telah ia terima melalui tranfer ke rekeningnya.
“Ambil dikit-dikit buat makan dan sangu (jajan) cucu. Kalau dulu masih ada kebun, masih ada pengasilan. Sekarang sudah enggak ada, pengeluaran terus setiap hari,” ungkap Hamidah saat dihubungi Kompas.com, Selasa (14/2/2023).
Semua tanam tumbuh di kebun Hamidah sudah diratakan alat berat. Hamidah hanya diam di rumah, bersama anak dan dua cucunya.
Hamidah tergolong masyarakat di sekitar IKN yang non-skill. Kemampuannya hanya sebagai petani, mewarisi jejak orangtua karena latar belakang pendidikan rendah.
Sejak kecil ia tak pernah sekolah, karena itu, sampai saat ini ia pun tak bisa membaca dan menulis. Untuk itu, Hamidah tak punya kemampuan berwirausaha atau pun melamar kerja di perusahaan sekitar.
“Dulu zaman enggak enak kan, enggak disekolahkan orangtua. Tapi kami sekolahnya dalam batin aja. Dari dulu kami berkebun terus. Kebun satu-satunya yang menghidupi aku dan anakku selama ini,” kata dia.
“Di situ (kebun) masih ada pisang, ubi dan tanaman lain yang bisa dipanen makan. Sekarang sudah enggak ada. Kita sekarang usaha engga bisa, panen sawit engga bisa, apa-apa ga bisa. Mau kerja kemana, mau panen kebun tidak ada,” sambung dia dilema.
Baca juga: Proyek Normalisasi Sungai Sepaku di IKN, Puluhan Rumah Warga Bakal Tergusur
Saat dipanggil ke kantor kecamatan untuk sosialisasi ganti rugi, Hamidah tak bisa menolak meski itu kebun satu-satunya. Karena rata-rata warga yang hadir setuju melepas lahan dan diganti uang. Hamidah tidak punya pengetahuan yang cukup soal pilihan ganti rugi.
Meski, Peraturan Pemerintah (PP) 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, memberi beragam opsi.
Pasal 76 menyebutkan, ganti rugi lahan bisa berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
“Enggak ngerti Pak, yang begituan. Lagi pula semua warga terima duit, masa saya minta lahan (kebun) pengganti sendirian,” kata dia.
Selain kebun, rumah dan lahan Hamidah seluas kurang lebih 400 meter persegi, yang kini ia tinggal pun, dalam waktu dekat bakal dibebaskan pemerintah karena masuk KIPP IKN. Tim penilai sudah melakukan pengukuran, tinggal membayar uang ganti rugi.
Hamidah dan anaknya hanya pasrah mendiami rumah tersebut, sambil menunggu pembayaran ganti rugi lalu berencana hengkang keluar Sepaku, pindah ke kabupaten lain.
Baca juga: Cerita Warga di IKN, Tak Tahu Harga Ganti Rugi hingga Terpaksa Serahkan Lahannya kepada Pemerintah