SUMBAWA, KOMPAS.com - Abdul Rahman (56) tampak lesu. Ia sesekali mengelus dada ketika duduk di teras rumahnya.
Abdul sedang mengingat saat hujan deras mengguyur Sumbawa pada Senin (7/11/2022) sekitar pukul 16.30 Wita. Ia begitu kaget mendengar suara petir yang bergemuruh saat itu.
"Suara petir itu sempat membuat saya kaget, tapi saya tidak menyangka musibah akan datang," ucap Abdul yang dikonfirmasi Rabu (9/11/2022).
Selang 1 menit, ia melihat sembilan ekor sapi miliknya bergelimpangan setelah suara petir yang mengagetkan tadi.
Abdul yang sedang berteduh di samping rumah kebun masih tak percaya. Ia lalu berdiri dan menghampiri sapi-sapinya untuk mengecek kondisi hewan ternaknya tersebut.
Baca juga: Kata Warga Sumbawa soal Migrasi TV Digital, Belum Siap dan Tak Ada Sosialisasi
Abdul terperangah ketika mulut sapi berbusa dan sudah tak bernyawa.
"Sembilan sapi saya sudah mati dan terkapar di tanah," kata Abdul.
Saat kejadian, Abdul sedang berteduh. Sementara, sembilan sapi itu diikat ke batang pohon setelah digembalakan.
Bagi orang Sumbawa, ada tradisi menggembala hewan ternak di lar atau padang rumput yang luas, bisa berupa kebun dan ladang.
Lar jadi lokalisasi pengembalaan hewan ternak yang dilepas begitu saja pada pagi hari.
Saat sore hari pemiliknya akan pergi melihat, memandikan hingga membawa hewan pulang ke kandang dekat rumahnya.
Abdul menarik napas panjang. Air mata tak bisa ditahan lagi, ia menangis sesegukan.
Warga Desa Penyaring, Kecamatan Moyo Utara ini mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah.
"Bukan tentang ruginya, sudah puluhan tahun sapi itu saya pelihara dan rawat seperti anak sendiri," sebut Abdul Rahman.
Rencananya jika sapi itu besar menjadi modal Abdul naik haji.