GORONTALO, KOMPAS.com – Pertandingan langga, seni bela diri tradisional masyarakat Gorontalo digelar di akhir Ramadhan atau saat Idul Fitri di Tapa, Kabupaten Bone Bolango.
Kemunculan bela diri tradisional ini disambut gembira masyarakat. Pasalnya, tradisi Langga sangat sulit ditemukan. Para pemainnya pun rata-rata sudah berumur lanjut.
Langga dilombakan di Tapa berbarengan dengan kemeriahan malam pasang lampu menyambut Hari Raya Idul Fitri.
“Malam ini masuk babak final sejak 2 hari lalu dipertandingkan,” kata Hartono Hadjarati, peneliti langga dari Universitas Negeri Gorontalo, Rabu (13/6/2018).
Digelarnya laga langga di akhir Ramadhan, menurut Hartono, untuk menyongsong malam lailatul qadar. Pertandingan ini bahkan terus berlanjut hingga setelah shalat Idul Fitri.
Baca juga: Tumbilotohe, Tradisi Tua Gorontalo Menyambut Idul Fitri
“Langga merupakan hiburan dan sarana mengajak silaturahmi untuk saling memaafkan atau dalam istilah kami moluloto totonula uhi ala alata to delomo duhelo," jelas Hartono yang disertasinya membahas langga.
"Makanya prinsip gerakan langga lebih ke pada pololi atau gerakan keindahan dalam melakukan belaan dan popai,” tuturnya.
Secara historis, masyarakat Tapa setiap Ramadhan melakukan latihan langga yang dilakukan setelah shalat tarawih.
Pada akhir Ramadhan atau seusai shalat Idul Fitri mereka melakukan pertandingan. Seluruh jago langga akan turun untuk adu tanding dengan pendekar langga dari desa lain.
“Kami senang bisa bermain langga di sini sambil menikmati malam tumbilotohe,” kata Abdul Karim, pemain langga yang sudah sepuh.