Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau Masih Hidup di Mana Orangnya, kalau Sudah Mati di Mana Makamnya"

Kompas.com - 18/01/2017, 14:50 WIB
Achmad Faizal

Penulis

SURABAYA, KOMPAS.com - "Entah siapa yang lebih dulu, Bimo dulu yang ketemu, atau saya dulu yang mati, yang penting saya akan terus berusaha," kata-kata itu keluar dari mulut Dionysius Utomo Rahardjo (71), ayah dari Bimo Petrus, aktivis yang sampai saat ini masih misterius keberadaannya sejak hilang Maret 1998 lalu.

Pensiunan pegawai rumah sakit jiwa di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu mengaku tidak pernah sekalipun absen dalam forum yang membahas tentang upaya pencarian orang hilang yang digelar LSM di Surabaya dan Jakarta.

Dia akan terus berusaha untuk mencari tahu keberadaan putranya yang hilang dalam gerakan menggulingkan rezim Orde Baru di Jakarta 18 tahun lalu.

"Kalau masih hidup, dimana keberadaannya, kalau sudah mati dimana makamnya?" tanya warga Jalan Temenggung Suryo, Kota Malang, Jawa Timur, itu.

Namun kata dia, mekanisme hukum harus tetap ditegakkan. Siapapun yang terlibat harus tetap diproses secara hukum.

Oetomo menyebut sejumlah nama pensiunan militer yang dipastikan terlibat dalam penculikan anaknya.

"Seperti Hendro Priyono, Sutiyoso, mereka sampai saat ini masih bercokol di atas," terangnya.

Oetomo mengaku tahu persis bagaimana gerakan yang dilakukan putranya waktu itu. Sebagai orangtua, dia hanya memberi restu agar apa yang dilakukan putranya membawa kebaikan untuk banyak orang.

Dia juga berhasil meyakinkan Genoneva Misiatini, istrinya, yang sempat melarang Bimo untuk pergi ke Jakarta.

Rabu (18/1/2017), Dionysius berada di Surabaya untuk bergabung bersama aktivis Kontras dan Ikatan Orang Hilang, serta sejumlah teman Wiji Thukul, untuk menantikan pemutaran perdana film "Istirahatlah Kata Kata" di Surabaya, Kamis (19/1/2017) besok.

Bimo Petrus, begitu dia dikenal di kalangan aktivis 98, kuliah di Jurusan Komunikasi Universitas Airlangga pada 1990.

Di jalur pergerakan, ia bergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Organisasi gerakan ini pulalah yang kemudian membuat Bimo memutuskan hijrah ke Jakarta dan berpindah ke STF Driyakara.

Bimo menghilang bersama 13 aktivis lainnya, termasuk bersama Wiji Thukul, seorang budayawan kritis asal Jawa Tengah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com