Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Damai di Lembah Gunung Ciremai

Kompas.com - 15/12/2016, 10:07 WIB
Reni Susanti

Penulis

KUNINGAN, KOMPAS.com – Seperti biasa, Gedung Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Minggu (4/12/2016) pagi, cukup ramai.

Beberapa penghayat Sunda Wiwitan terlihat membersihkan kompleks gedung tersebut. Ada yang menyapu, membersihkan kendaraan, ada pula yang berbincang-bincang.

Obrolan mereka terkadang terhenti ketika bertemu dengan tetangga atau saudaranya yang akan mengikuti misa di Gereja Katolik Kristus Raja.

Mereka bertegur sapa. Dari kejauhan, terdengar penghayat Sunda Wiwitan bertanya, "Bade ka gereja? (Mau ke gereja?)"

Dengan Alkitab di tangan, jemaat yang akan menjalankan misa pun menjawab, "Sumuhan, A. Dikantun heula. (Ya, Kak. Saya tinggal dulu)."

Seusai bertegur sapa, obrolan yang sempat terputus pun berlanjut. Mereka larut dalam perbincangan yang diiringi suara sayup-sayup orang mengaji dari pelantang suara sebuah masjid di daerah tersebut.

"Inilah kami. Inilah Cigugur. Kami hidup dalam keberagaman," ujar anak tetua adat Cigugur Gumirat Barna Alam.

Ia mengatakan, penghayat Sunda Wiwitan dan penganut Katolik atau Protestan yang saling bertegur sapa tersebut bisa jadi kakak beradik. Itu karena di Cigugur, satu rumah bisa dihuni oleh berbagai agama.

"Rata-rata satu rumah dihuni tiga agama. Misal, orangtuanya Sunda Wiwitan dan anaknya ada yang Islam, ada pula yang Katolik atau Protestan. Tapi semuanya hidup damai, tidak pernah ada perselisihan soal agama," kata Gumirat.

Keluarga besar Gumirat pun demikian. Dari delapan anak tetua adat, anak tertuanya seorang pendeta.

Anak kedua beragama Katolik dan anak ketiga beragama Islam. Lima anak lainnya, termasuk dirinya, menganut Sunda Wiwitan.

Baginya, perbedaan tersebut bukan persoalan. Mereka berpegang pada prinsip bahwa manusia diciptakan untuk hidup harmonis.

"Kami hidup rukun dan damai. Di rumah kami memperbincangkan banyak hal, di antaranya mengenai hubungan sosial," kata dia.

Gumirat mengatakan, apa pun agama seseorang tidak akan mengubah hubungan anak dengan orangtua ataupun saudaranya.

Jika dianalogikan, seorang bayi dilahirkan dulu baru berbicara tentang agama sehingga agama tidak bisa memutus hubungan darah.

Itulah yang terjadi di Cigugur. Ketika ada yang menikah, warga berbeda agama ini saling membantu mempersiapkan segala sesuatunya, misalnya membuat kue bersama untuk tamu.

Begitupun ketika ada yang meninggal. Mereka akan saling membantu menyiapkan pemakaman.

Yang paling terlihat adalah menjelang acara Seren Taun. Empat bulan sebelum dilaksanakan, warga lintas agama ini bahu-membahu mempersiapkan acara, tidak terkecuali para pemuka agama.

"Kami di sini ada 500 KK, terdiri dari empat agama, Sunda Wiwitan, Islam, Katolik, dan Protestan. Perpindahan agama rata-rata terjadi karena pernikahan. Kami melihatnya biasa saja," ujarnya.

Pemimpin Gereja Katolik Kristus Raja Yohanes Cantius Abukasman mengatakan hal yang sama. Toleransi di Cigugur Kuningan terjadi dari dulu. Mereka saling menghargai dan menghormati perbedaan.

"Mengapa memaksa harus sama? Perbedaan itu indah, apalagi tak ada satu pun agama yang mengajarkan ketidakbaikan," kata dia.

Yohanes merasa bahagia bisa ditugaskan di Cigugur. Ia merasakan kehidupan yang sangat damai di sana. Dalam berbagai ceramahnya, ia selalu mengatakan bahwa Cigugur itu merupakan cerminan masyarakat damai di lembang Gunung Ciremai.

Begitupun dengan Agus, salah satu pemeluk Islam. Meski dalam satu rumah berbeda agama, mereka hidup rukun. Sejak kecil mereka sudah akrab dengan perbedaan dan menganggap perbedaan itu berkah.

Anak tetua adat lainnya, Dewi Kanti, mengatakan, jika melihat fakta sejarah, lereng Gunung Ciremai tergolong plural. Situs-situs pra-Hindu, Budha, Islam, terletak berdampingan.

Ia mengakui bahwa mempertahankan keyakinan sebagai penghayat Sunda Wiwitan tidaklah mudah. Selain mengalami diskriminasi, nyawa harus siap dipertaruhkan.

Pada masa pemberontakan DI/TII dan PKI, misalnya, penganut agama kepercayaan termasuk Sunda Wiwitan disiksa, dibunuh, bahkan dikubur hidup-hidup.

Saat itu, tetua adat Pangeran Jatikusuma mendapat petunjuk spiritual untuk menyelamatkan generasi dengan berteduh di bawah cemara putih yang dimaknainya sebagai Kristen. Ketika Pangeran Djatikusuma keluar dari Kristen, ia membebaskan penghayat untuk memilih agamanya.

Tekanan kembali muncul di tahun 1980-1990 saat pemerintah melarang acara Seren Taun. Kini, diskriminasi pun tetap ada. Diskriminasi masuk lewat urusan administrasi, mulai dari KTP, surat nikah, akta kelahiran, dan lainnya.

Dewi mengalaminya. Ia kesulitan memperoleh surat nikah. Akibatnya, ia tidak mendapatkan berbagai tunjangan dari perusahaan sang suami. Begitupun ketika ia memiliki anak kelak, akta kelahiran sang anak hanya mencantumkan nama ibu.

Diskriminasi itu membuat sebagian penghayat menikah dengan mengaku sebagai agama yang diakui negara. Namun, perbedaan agama bukanlah pemisah. Dewi tak ingin terjebak pada pembungkus agama itu berasal.

Meski berbeda keyakinan, kebudayaan Sunda merekatkan warga Cigugur Kuningan, apalagi Sunda Wiwitan mengajarkan toleransi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com