Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sempat Laris pada Era Gus Dur, Kesenian Barongsai Kini Sepi Pesanan

Kompas.com - 16/08/2016, 11:03 WIB
Hamzah Arfah

Penulis

GRESIK, KOMPAS.com – Tarian tradisional China dengan menggunakan sarung menyerupai singa alias barongsai sempat mencapai masa kejayaannya di Indonesia setelah era reformasi. Saat itu, kesenian yang mulai populer pada zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi tersebut kerap terlihat tampil di berbagai acara yang digelar masyarakat.

Namun, saat ini, nasib barongsai berbalik 180 derajat lantaran para senimannya mengaku jarang mendapat undangan untuk tampil dan menghibur masyarakat.

“Kalau saat ini, satu bulan dapat satu kali undangan tampil saja rasanya sudah bersyukur, Mas. Sebab, sekarang enggak seperti pada saat zaman Gus Dur (Abdurrahman Wahid) jadi presiden, yang setiap kali acara keagamaan pasti mengundang barongsai,” tutur manajer barongsai dan liong Budi Luhur, Dwi Budi Santoso, Selasa (16/8/2016).

Barongsai yang sempat dilarang pada era Presiden Soeharto merasakan masa kejayaan pada masa Presiden Gus Dur. Namun, sekarang kondisinya terpuruk.

Kendati demikian, untuk saat ini, perkumpulan yang berdiri pada 1998 tersebut menyatakan tetap eksis dalam mempertahankan kesenian barongsai meski tak lagi mendapat banyak order seperti dulu karena mengaku sudah telanjur cinta.

“Paling-paling saat Imlek saja yang lumayan ramai undangan. Di luar itu ya tadi, sebulan dapat undangan tampil satu kali saja rasanya sudah bersyukur. Meski begitu, saya dan rekan-rekan tetap bertekad eksis, karena kami semua sudah telanjur cinta dan menyayangi kesenian ini,” terangnya.

Saat dikonfirmasi mengenai pandangannya tentang sepinya pihak yang mengundang kesenian barongsai saat ini, Budi memprediksi, hal itu bisa juga karena masyarakat sudah bosan melihat tontonan kesenian itu. Mungkin juga karena faktor biaya untuk mengundang barongsai yang dianggap mahal.

“Untuk sekali tampil, kami biasanya memasang tarif Rp 4 juta. Bagi banyak orang, angka ini mungkin terlihat besar dan mahal. Tetapi, bagi kami, tarif tersebut sudah murah, karena setiap kali selesai tampil kami juga sisihkan sebagian pendapatan untuk perawatan peralatan,” beber pria berusia 33 tahun tersebut.

Selain dibagi bersama 14 rekannya yang lain, anggaran yang didapat tersebut sebagian disisihkan untuk perawatan peralatan yang dikatakan Budi rentan rusak. Seperti baju singa, gong, dan juga alat tetabuhan yang lain.

“Memang tak rusak sekaligus, tapi kalau rusak dan sampai beli baru, biaya yang dibutuhkan juga mahal, sampai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Karena peralatan barongsai juga dijual terbatas, sehingga mahal karena susah carinya,” ucap Budi.

Oleh karena itu, Budi beserta rekan-rekannya di perkumpulan barongsai dan liong Budi Luhur berharap banyaknya tawaran manggung yang pernah mereka rasakan kejayaan sewaktu almarhum Gus Dur masih menjabat sebagai presiden.

“Sekarang ini kan momen Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Semoga saja akan banyak pihak yang kembali antusias dalam mengundang barongsai,” harapnya.

Sementara sambil menunggu order manggung yang didapat guna mencukupi kebutuhan sehari-hari, para seniman barongsai dan liong Budi Luhur juga menekuni pekerjaan lain. Ada yang membuka warung, menjadi sopir rental, ataupun tenaga kerja serabutan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com