Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Miliaran Rupiah, Harta Milik Warga Eks Gafatar yang Tertinggal

Kompas.com - 27/01/2016, 07:50 WIB
Kontributor Balikpapan, Dani J

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com– Mantan pengikut organisasi massa Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Sulawesi Selatan angkat kaki dari Kalimantan Timur, Selasa (26/1/2016) malam. Mereka tinggalkan seluruh asetnya begitu saja di Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, di Kutai Kartanegara.

“Semua yang sudah kami keluarkan Rp 1,3 miliar. Semua itu termasuk aset dan segala hal yang sudah kami kerjakan selama ini. Semua kami tinggalkan di sana,” kata Edward.

Aset itu sendiri, kata dia, mulai dari tanah seluas 2 hektar dan 15 rumah beserta dapur umumnya senilai sekitar Rp 800 juta. Selebihnya, ladang dan sawah yang seharusnya bisa dipanen Maret 2016 mendatang, juga sejumlah tanah garapan bersama pihak ketiga.

“Juga mobil dan motor yang sudah ditawar orang. Menurut mereka (anggota eks Gafatar yang lain) sudah dibeli sebelum kami pergi ini,” kata Edwar.

Eks Gafatar mengaku menerima kenyataan terusir dari Samboja. Mereka sukarela meninggalkan apa yang sudah digarapnya kurang dari tujuh bulan di Samboja.

“Kami patuh pada negara sebagai bukti kami bukan menjalani kehidupan sesat atau tidak bermartabat,” kata Edward.

“Kami berharap, kepergian kami dengan sukarela dan baik juga disikapi dengan bijak oleh pemerintah. Aset yang kami tinggalkan, bagaimana supaya ada penggantian. Tolong diperhatikan,” kata Edward.

Edward, salah satu eks Gafatar yang pertama-tama yang tiba di Samboja. Bersama sejumlah eks Gafatar lain, mereka menggarap tanah yang dibeli seorang warga Makassar tahun lalu. Tanah seluas 2 hektar ini itu diperoleh dari membeli secara sah pada 2015 silam. Pemilik tanah memiliki hubungan dekat dengan para eks Gafatar ini sehingga akhirnya tanah itu bisa digarap.

Edward mengenang masa pertamanya di Samboja. Dia tiba akhir Agustus 2015. Saat itu, tanah seluas 2 hektar ini hanyalah hutan belukar. Edward dan rekan-rekannya merintis, membuka lahan, bercocok tanam, dan mendirikan bangunan tinggal.

“Makanya sebenarnya kecewa (terusir). Kami bukan kriminal, tidan mengganggu ketentraman, tetapi diperlakukan seperti ini, “ kata Edward.

“Seharusnya kami diberi waktu membuktikan usaha mandiri ini. Beri kesempatan dua tahun saja. Bila tak berhasil, tak perlu mengusir kami. Kami tentu pulang sendiri. Tapi, kami patuh pada negara,” kata Edward.

Pertengahan 2015 lalu, Jalil, teman sekerja Edward, mengatakan, mereka perlahan berhasil membangun pemukiman. Pemukiman berkembang pesat seiring gelombang kedatangan eks Gafatar lain yang datang hingga 9 tahap.

“Kami ada 3.000 eks Gafatar di Sulawesi. 90 persen dari kami sekarang ini (yang di Desa Karya Jaya) eks Gafatar. Sisanya bukan,” kata Jalil.

Gafatar resmi bubar pertengahan Agustus 2015. Sekalipun bubar, kata Jalil, pertemanan antar mereka tetap terbina hingga kini. Mereka mendapatkan pengharapan bisa bekerja mandiri selama bergabung di ormas ini.

Bubarnya Gafatar bukan berarti memupuskan semangat bekerja mandiri di hari depan. Semangat bekerja mandiri masih ada dalam diri para mantan Gafatar ini, sehingga akhirnya bisa memiliki lahan di Samboja, lantas membuka pertanian di sana.

Selama hampir tujuh bulan, mereka tidak cuma bekerja di lahan sempit 2 ha saja. “Karena 1 ha sudah terpakai untuk rumah,” kata Jalil.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com