Bersama dengan dua orang nenek yang enggan menyebutkan nama, keduanya mengungkapkan baru beristirahat usai mengangkat batu dan pasir dari muara sungai.
Tanpa rasa mengeluh, mereka mengaku rela mengumpulkan kerikil dan pasir di muara kali Waikuma lalu dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Jagung dan padi kami di ladang sudah mati semua. Kita berharap agar pemerintah melihat dan mengatasi kesulitan kami petani," kata Maria Weking kepada Pos Kupang.
Maria mengungkapkan, kekeringan yang mengancam tanaman padi dan jagung membawa konsekuensi bagi anak mereka yang sementara di bangku sekolah.
"Kalau masih di bangku SD, SMP atau SMA masih lebih baik. Tapi kalau sudah kuliah, kita susah mau cari uang untuk makan atau uang untuk kuliah bingung," kata Maria.
Sisilia yang tengah berharap putranya selesai studi kuliah secepatnya mengungkapkan bahwa tidak mudah bagi petani pada situasi sekarang.
"Bisa jadi anak-anak putus sekolah. Tetapi kita percaya pemerintah, sudah membantu banyak selama ini. Jadi, kita percayakan kepada pemerintah masalah kelaparan para petani ini," ujar Sisilia.
Dikatakan Sisilia, muara kali setiap kali banjir terjadi selalu membawa pasir dari gunung. Tetapi dua tahun terakhir pasir halus di muara kali itu sudah berkurang.
"Ini membantu sekali saya selama ini. Sudah 30-an tahun kita usaha jual pasir ini daripada ke Malaysia hidup kita penuh dengan risiko," kata Sisilia.
Penggali pasir jual pasir dengan harga Rp 200.000 per mobil pikap. Mereka mengaku semakin sulit sekarang menggali pasir di muara sungai Waikuma karena tidak ada banjir.