Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sungai Berbusa akibat Limbah

Kompas.com - 27/04/2015, 17:00 WIB

SURABAYA, KOMPAS — Limbah rumah tangga, terutama dari detergen, mencemari sungai-sungai di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pencemaran paling parah terlihat di Kali Wonorejo. Air di sungai itu kini mengeluarkan busa tebal yang memenuhi permukaan sungai ketika rumah pompa beroperasi.

Minggu (26/4), ketika pompa di Rumah Pompa Wonorejo II belum dinyalakan, air Kali Wonorejo yang berwarna coklat tampak bersih, tidak ada sampah di permukaannya. Namun, ketika dua pompa dinyalakan, busa berwarna putih segera memenuhi permukaan sungai.

Pompa dinyalakan sekitar 10 menit karena hujan dan menimbulkan busa tebal hingga jarak sekitar 15 meter dari mulut pipa pompa. Lebar sungai itu sekitar 10 meter. "Jumat pekan lalu, saya menyalakan pompa dari pukul 15.00 dan dimatikan pada Sabtu keesokan harinya pukul 09.00. Busanya jauh lebih banyak," kata penjaga Rumah Pompa Wonorejo, Martono.

Ketika pompa dimatikan, air sungai yang berbusa itu mengalir kembali dari arah muara karena air laut sedang pasang. Busa putih itu mulai terpecah dan mirip tumpukan salju di daerah bermusim dingin. Jika tertiup angin, busa itu ikut beterbangan.

Kali Wonorejo adalah sungai di kawasan Pantai Timur Surabaya. Sungai itu melewati kawasan permukiman dan industri. Di sekitar muara, air sungai melintasi kawasan hutan mangrove dan area tambak. Di dekat Rumah Pompa Wonorejo II juga terdapat obyek wisata Mangrove Wonorejo yang menjadi kawasan konservasi.

Menurut Martono, busa itu sudah muncul sejak pertama kali rumah pompa itu beroperasi sekitar 1,5 tahun lalu. Busa hanya muncul saat pompa dinyalakan. Menurut Martono, mulut pompa yang berada sekitar tiga meter dari permukaan sungai memicu munculnya busa. "Air dari atas jatuh dengan keras dan mengaduk air di bawahnya," katanya.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya Musdiq Ali Suhudi menegaskan, munculnya busa itu akibat limbah domestik atau limbah dari rumah tangga. Kandungan detergen di sungai mengendap di dasar sungai. Ketika air sungai teraduk, kandungan detergen bereaksi membentuk gumpalan busa.

"Di sepanjang sungai banyak rumah yang langsung mengalirkan limbah domestik ke sungai. Solusinya harus ada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal. Ini yang menjadi tugas berat kami," kata Musdiq. Dengan IPAL, limbah diproses terlebih dahulu sebelum masuk ke sungai.

Harus tegas

Limbah domestik sebagian besar mengandung detergen dari pencucian perabot dapur, kendaraan, atau air sabun dari kamar mandi. Musdiq mengatakan, kondisi itu terjadi di semua sungai di Surabaya, tetapi tingkat pencemaran paling tinggi terjadi di Kali Wonorejo.

Musdiq menambahkan, kini di Surabaya ada sekitar 20 unit IPAL komunal di bagian Surabaya tengah. IPAL komunal tambahan perlu dibangun di kawasan yang bersentuhan langsung dengan Kali Wonorejo. Satu unit IPAL komunal membutuhkan lahan minimal 100 meter persegi dan biaya Rp 400 juta. Pemerintah Kota Surabaya biasanya terkendala faktor lahan.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi mengatakan, Pemerintah Kota Surabaya harus tegas dalam menyelesaikan persoalan ini. Selain rumah tangga, sektor industri juga diduga ikut menyumbang limbah ke sungai. Pemerintah Kota Surabaya harus mencari sumber pencemaran dan menindaknya. "Solusi harus menyeluruh dari hulu ke hilir, tidak hanya selesai dengan membangun IPAL," katanya.

Menurut Prigi, limbah domestik jelas membahayakan populasi ikan di sungai dan mematikan mangrove. Berdasarkan penelitian Ecoton, ikan di sungai di Surabaya dapat berubah kelamin akibat pencemaran itu. Sementara anakan tanaman mangrove dapat mati. (den)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com