Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nenek Annisa, Bertahan Hidup dengan Bongkahan Akik Subaim

Kompas.com - 16/04/2015, 08:35 WIB
Kontributor Ternate, Fatimah Yamin

Penulis

TERNATE, KOMPAS.com - Di kalangan kolektor batu akik, siapa yang tidak mengenal batu bacan? Batu akik khas Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Hanya dengan hitungan bulan, batu bacan sudah merambah ke luar negeri, khususnya Tiongkok.

Kepopuleran batu bacan atau yang juga dikenal dengan sebutan doko dan palamea, menjadi inspirasi bagi warga di beberapa kabupaten lain di Maluku Utara untuk mencari batu akik dari daerah masing­-masing. Mereka tentu berharap batu-batu itu dapat juga dimasyurkan seperti layaknya batu bacan.

Salah satunya adalah Annisa Lakore, nenek asal Subaim, Sofifi Maluku Utara. Kelelahan terlihat dari wajah nenek Annisa yang penuh peluh saat ditemui di lokasi penjualan batu akik di Kelurahan Salero, Kota Ternate, Maluku Utara, pekan lalu.

Nenek berusia 62 itu baru saja turun dari mobil pikap, setelah menempuh perjalanan jauh dari lokasi pencarian batu akik, Kecamatan Subaim. Di mobil, Annisa tidak sendiri, ada tiga rekan yang juga perempuan ikut membawa belasan karung berisikan batu akik untuk dijual di Ternate.

Saat ditemui, nenek Annisa belum bersedia diwawancarai karena kelelahan serta waktu yang hampir menjelang malam. “Besok saja, cari saya di sini. Torang (kami) tidur di sini (lokasi penjualan batu) dan belum balik ke Subaim sebelum batu­-batu ini laku terjual,” ujar dia.

Keesokan harinya, nenek Annisa sudah terlihat duduk sendiri di emperan lokasi penjualan batu akik. Dengan ramah dan senyum tipis, dia menerima kedatangan Kompas.com. Wawancara pun dimulai.

Nenek Nisa, --demikian biasa disapa, menuturkan, pekerjaan mencari dan menjual batu akik asal Subaim dilakoninya sejak tahun 2014. Meski berat untuk wanita seusianya, pekerjaan ini terpaksa dia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-­hari.

Apalagi sejak ditinggal suami yang meninggal 10 tahun lalu, pekerjaan apapun dia lakukan, yang penting halal dan bisa membantunya bertahan hidup. “Dulu saya hanya bajual nasi jaha (nasi bambu). Usaha mencari batu tidak pernah terpikirkan. Saat itu saya melihat beberapa tetangga sering pulang dari kebun bawa karung dengan isi, terus saya tanya, ngoni (kalian) bawa apa dalam karung, mereka bilang itu batu," kata dia. 

"Terus mereka bilang, lagi lebih baik torang (kita) cari batu dari kampung sendiri siapa tau bisa terkenal seperti batu bacan,” kata Nisa lagi.

Sejak saat itu, aktivitas nenek Nisa mencari kayu bakar dan bambu untuk nasi jaha, ia tinggalkan. Dia lalu beralih menjadi pencari dan penjual batu akik. Beberapa jenis batu yang menurut warga setempat bernilai, mulai dikumpulkan.

Batu-­batu ini dikumpulkan Nenek Nisa mulai dari halaman rumah hingga dari kebun. Beberapa hari mengumpulkan batu, tak ada satu pun pembeli dari luar yang berminat membeli batu akik milik Nenek Nisa. Rasa pesimistis menghantui pikirannya.

Ia hanya bisa menatap tumpukan batu akik yang dia kumpulkan di dapur serta dalam kamar. “Batu yang di kamar itu yang berwarna hijau,” kata dia sambil sesekali memperbaiki kerudungnya.

Kalau memang rezeki tidak akan ke mana, kata Nenek Nisa. Berselang bebarapa hari tiba­-tiba ada pendatang dari Pulau Jawa yang dibawa seorang polisi, warga setempat, yang menghampiri rumahnya.

Pendatang itu melihat semua batu milik Nisa, namun yang dia hanya tertarik kepada bongkahan batu akik berwarna hijau. “Pendatang ini beli bongkahan batu warna hijau dengan harga Rp 1 juta,” ujar Nisa.

Tak henti­-hentinya dia bersyukur atas nikmat Tuhan itu. “Allah tunjukkan dan memberi nikmat dari batu-­batu ini,” ujar dia dengan mata berkaca­-kaca.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com