Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nikah Beda Agama adalah Contoh Kemajemukan

Kompas.com - 05/09/2014, 12:16 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis

AMBARAWA, KOMPAS.com — Gugatan uji materi oleh sekelompok mahasiswa di Jakarta ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur syarat pernikahan seagama, mendapat tanggapan beragam dari masyarakat.

Salah satu yang mendukung untuk melegalkan pernikahan beda agama datang dari pasangan Pristyono Hartanto (37) dan Lucia Lanny Hartanti (35), warga Kota Bandungan, Kabupaten Semarang.

Pemilik rumah makan Tanto-Tanti ini mendukung agar Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 dihapuskan atau dibatalkan. Menurut Pris, semestinya menikah berbeda agama di negara yang majemuk seperti di Indonesia tidak perlu dipermasalahkan.

"Jangan sampai perbedaan agama dijadikan alasan untuk tidak bersatu. Pernikahan beda agama itu sendiri sebagai suatu contoh kemajemukan," kata Pris saat ditemui di warungnya yang berlokasi di Km 1 Jalan Raya Bandungan-Sumowono, Desa Kenteng, Bandungan, Jumat (5/9/2014) siang.

Perbedaan keyakinan, menurut Pris, tidak menjadi halangan bagi dua insan yang saling mencintai untuk berumah tangga. Negara seharusnya melindungi kepentingan dan hak setiap individu warganya, termasuk keinginan untuk menikah dengan pasangannya yang berbeda agama.

"Jadi semestinya ya diperbolehkan. Ini kan Indonesia. Toh menikah beda agama itu tidak berpengaruh bagi masyarakat yang menimbulkan permasalahan atau mengganggu ketertiban umum," ungkap Pris.

Pristiyono dan istrinya, Lucia Lanny Hartanti, menikah pada tahun 2003 di sebuah gereja. Pris yang seorang Muslim dan Lucia yang beragama Katolik melangsungkan pernikahannya di gereja lantaran KUA tidak bisa menikahkan mereka yang berbeda keyakinan.

"Kebetulan karena KUA tidak bisa menikahkan, jadi kami menikah di gereja. Namun, agamanya tetap masing-masing," kata dia.

Mereka mengakui, menikah berbeda agama tidak mudah. Kendala yang besar justru bukan dari kedua pihak keluarga, melainkan dari pemerintah melalui institusi yang seharusnya mengurus pernikahan, yang belum bisa menerima pernikahan beda agama.

"Keluarga kami tidak mempermasalahkan, tetapi proses di KUA yang sulit. Jadi, buku nikah dikeluarkan (kantor) catatan sipil. Prosesnya yang ribet, Mas. Harus ngisi kuesioner dulu," timpal Lucia.

Selama lebih dari satu dasawarsa menjalani bahtera rumah tangga, pasangan Pris dan Lucia telah dikaruniai dua anak, Bintang Pertama (10) dan Lorensia Priska (9). Mereka hidup rukun dan berkecukupan dari mengelola rumah makan yang menjual menu spesial daging kelinci di kota wisata Bandungan.

Agama anak
Keduanya mengakui, masalah yang timbul dan harus diantisipasi oleh pasangan berbeda agama adalah agama atau keyakinan yang akan dianut oleh anak. Pris dan Lucia mengaku sebelum menikah sudah memperhitungkan hal itu dan telah membuat komitmen soal keyakinan atau agama anak-anak mereka.

"Hanya, memang ada sedikit permasalahan dalam keluarga ketika anak-anak itu harus ikut agama ayah atau ibu, tetapi itu tergantung komitmen suami-istri itu. Kami membebaskan ikut siapa, tetapi anak-anak saya belum memutuskan," ujar Lucia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com