Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelacuran Liar "Mewabah" di Areal Tambang dan Kebun Sawit

Kompas.com - 01/07/2014, 15:41 WIB
Kontributor Balikpapan, Dani Julius

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com – Industri pertambangan batu bara dan mineral, minyak dan gas, serta perkebunan sawit di Kalimantan Timur, menuai dampak negatif. Salah satunya, prostitusi muncul secara liar di seputar tambang dan perkebunan.

Asisten Program Manager, Yayasan Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan (STABIL) di Balikpapan, Yulita Lestiawati mengatakan, pelacuran liar terkait dengan kehadiran pekerja dengan jumlah banyak serta perubahan gaya hidup remaja di sekitarnya.

“Muncul prostitusi. Di tambang, muncul pula yang namanya cewek tambang. Ini semua merusak tatanan. Jadi apa generasi ini,” kata Yulita dalam diskusi tentang Raperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat (PPHMHA) Kaltim di Kantor Yayasan Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan (STABIL) di Balikpapan, beberapa waktu lalu.

Yulita mengatakan, prostitusi tidak serta merta muncul. Praktik ini berawal dari masyarakat lokal dan pedalaman yang terdesak akibat hutan dan ladang mereka tergerus industri. Kehidupan mereka beralih.

Masyarakat yang semula mudah memperoleh obat-obatan dari hutan, buah-buahan, padi, ikan, hingga hewan buruan, mulai sulit dicari bahkan hilang di beberapa wilayah. Investasi yang masuk hingga pedalaman tidak diimbangi kesiapan warga lokal, baik keterampilan maupun pengetahuan.

“Justru menjadi memiskinan masyarakat miskin tambah miskin,” kata Rama A. Asia, mantan Bupati Kutai Barat periode 2001-2006. Rama yang mewakili Forum Dayak Menggugat (FDM) Kaltim hadir dalam diskusi yang juga diikuti sejumlah wartawan.

Dampak industri tambang dan sawit terus berlangsung. Banyak warga pedalaman tertarik menjadi buruh perusahaan meski dengan keterampilan terbatas. Mereka terpaksa bersaing dengan pendatang, diikat dengan sistem kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja.

Mereka pun diberi upah rendah dan dibedakan dengan upah para pendatang yang memiliki keterampilan lebih mumpuni. Kehadiran para pekerja pendatang meningkatkan perselingkuhan antara pekerja dan warga, mengubah gaya hidup remaja lokal yang tertarik perputaran uang yang besar.

Akhirnya, muncul fenomena ‘cewek tambang’, muncul kegiatan prostitusi liar dari luar daerah, hingga meningkatnya konflik batas, wilayah kelola, hingga konflik tata ruang antar warga maupun dengan perusahaan.

“Kondisi kita sedang kritis. Pemerintah tidak banyak menyentuh masyarakat adat ini,” kata Rama.

Perda adat sebuah jalan keluar
Direktur Eksekutif STABIL, Jufriansyah, mengatakan, masyarakat lokal mengharapkan perlindungan dan perhatian serius dari pemerintah bagi kelanjutan hidup mereka.

Menurut Jufriansyah, perda menjadi jalan keluar agar masyarakat lokal tidak semakin tergerus industrialisasi. Raperda PPHMHA memberi pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat, kedudukan dan hak-haknya atas tanah, wilayah, dan SDA. Juga mengatur hukum dan peradilan adat, lembaga masyarakat adat.

Perda sejatinya tinggal selangkah lagi untuk disahkan. Alih-alih diketok palu menjadi perda, pemprov menangguhkan pengesahan pada pertengahan Juni 2014 lalu, dengan alasan menunggu lahirnya UU PPHMHA yang tengah dibahas pemerintah dengan DPR RI.

Sejumlah pihak kecewa. Mereka menganggap penantian pada UU PPHMHA tidak tepat, karena sejumlah provinsi justru telah menerapkan perda serupa lebih dahulu.

“Di lapangan, masyarakat membutuhkan payung hukum. Menunggu lagi, berarti pemerintah terus membiarkan kejadian-kejadian di lapangan. Jangan sampai tidak jadi (disahkan). Semua pihak sudah mengeluarkan miliaran rupiah lewat berbagai studi banding dan diskusi. Jadi tak perlu sampai seperti Aceh dan Papua yang berdarah-darah dulu baru muncul perda,” kata Jufriansyah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com