Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah Autisme An Moerti, Siswa Bayar Seadanya

Kompas.com - 26/02/2014, 15:17 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis


BANYUWANGI, KOMPAS.com - Gani (5) mewarnai gambar ikan di atas meja dengan krayon. Wajahnya terlihat serius. Sesekali dia memalingkan muka ke arah gurunya ketika diminta mewarnai kertas gambar lainnya.

Gani tidak sendiri. Ada dua temannya yang lain yang juga sibuk dengan gambar masing-masing. Ketiga bocah itu merupakan siswa sekolah untuk anak penyandang autisme, TKLB An Moerti, di Jalan Progo Nomor 59 Kelurahan Singonegaran Kecamatan Banyuwangi.

Kepada Kompas.com, psikiater Betty Kumala mengatakan, dia mendirikan sekolah untuk anak berkebutuhan khusus itu seringnya dia menangani anak-anak autis sejak membuka praktik pada 2007.

"Mereka banyak yang tidak mendapatkan pendidikan layak, karena memang mereka butuh penanganan khusus. Mereka juga tidak bisa bersekolah divtempat umum, dan seharusnya juga tidak dicampur dengan anak-anak kebutuhan khusus lainnya seperti tunarungu, tunawicara, ataupun tunanetra," kata Betty.

Sekolah yang mempunyai izin operasional sejak 19 Juni 2012 lalu memiliki dua jenjang yaitu TK dan SD.  Saat ini tingkat TK memiliki enam siswa, sementara jenjang SD memiliki sembilan siswa. Mereka berusia empat sampai 13 tahun.

"Jam sekolah mereka normal seperti siswa sebanyakan dari Senin sampai Sabtu. Tapi untuk materi pembelajaran tentu berbeda. Biasanya sebelum jadi siswa, masih harus dilakukan observasi terlebih dahulu termasuk juga melakukan psikotest. Selain itu juga ada beberapa siswa dari sekolah dasar yang menampung inklusi, dan saat diketahui dia autis maka dia pindah ke sini," papar Betty.

Betty mengaku tidak menentukan biaya untuk bersekolah ditempatnya. "Nggak ada nominalnya, mereka bayar ya kami terima, mau dibayar nyicil juga nggak apa-apa. Yang terpenting mereka bersekolah sehingga nanti jika dewasa mereka bisa hidup di masyarakat," jelasnya.

Betty memaparkan masih belum diketahui penyebab pasti autis tapi ada beberapa faktor pemicu seperti ibu hamil yang stres dan mengalami perasaan tertekan, kurang gizi saat hamil termasuk juga masalah kromosom.

"Anak autis memiliki ciri atau gejala utama seperti gangguan pada interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan pola tingkah laku atau minat yang repetitif dan stereotip. Gejala autisme ini sangat bervariasi dan sudah timbul sebelum anak tersebut berumur 3 tahun. Selain bervariasi, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat. Itu sebabnya, gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder atau Gangguan Spektrum Autistik," Betty menjelaskan.

Bawa makanan dari rumah

Betty memberikan peraturan yang ketat di sekolahnya, terutama untuk jajanan. "Kami sudah memberitahukan kepada orangtua masing-masing untuk membawa makanan dari rumah. Termasuk juga jajanan harus diatur. Harus ada unsur sayur-sayuran, sedangkan untuk jajan biasanya jenis biskuit," katanya.

Ia menjelaskan makanan yang harus dihindari adalah makanan yang mengandung kasein seperti susu, yoghurt, keju,coklat, mentega, es krim, serta beberapa makanan gluten yang terdapat di roti, pizza, produk pasta.

"Sebisa mungkin mereka harus menghindari makanan yang mengandung bahanan tambahan pangan seperti MSG, bahan pengawet, pemanis buatan dan bahan pewarna atau penambah cita rasa buatan," kata Betty.

Pernah, menurut lulusan S2 Unair ini, ada anak yang membawa coklat dari rumahnya dan makan di dalam kelas. "Efeknya langsung terlihat. Anak semakin susah terkontrol. Akhirnya sejak saat itu kami benar-benar mengingatkan orang tua untuk tidak memberi anaknya coklat walaupun dengan alasan kasihan. Tapi kan efeknya memang buruk untuk anaknya sendiri," jelasnya.

Sementara itu Tanti, guru TKLB An Moerti mengatakan menangani anak autis memang butuh ketelatenan khusus.

"Mereka kan asyik dengan dunianya sendiri, cenderung ego yang tinggi serta membeo atau mengulang kalimat. Jadi memang tidak ada komunikasi dua arah jika berbicara dengan mereka. Intinya memang butuh kesabaran ekstra," kata mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling ini.

Ia berharap anak didiknya bisa hidup selayaknya seperti orang normal lainnya. "Paling tidak kami membantu mereka untuk bisa berkembang seperti individu lain pada umumnya. Banyak kok kasus-kasus anak autis yang berprestasi kemudian menikah dan hidup bersama-sama dengan masyarakat umum. Buat saya mereka tidak beda, tapi mereka itu unik," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com