BANYUWANGI, KOMPAS.com - Belasan laki-laki yang mengenakan pakaian khas Banyuwangi berlari ke tengah lapangan sambil membawa kiling atau kincir angin. Kiling ini terbuat dari bambu yang panjangnya mencapai 10 meter dan biasa ditaruh di sawah untuk menakuti burung.
Sementara itu seorang laki-laki paruh baya terlihat sedang membakar kemenyan. Bau khas kemenyan mengawali fragmen "Tari Gandrung Kolosal" yang digelar di Pantai Boom, Banyuwangi Sabtu (23/11/2013).
Setelah kiling terpasang, suasana magis semakin terasa. Beberapa penari Seblang memasuki lapangan diiringi lagu Banyuwangi "Podo Nonton". Seblang adalah cikal bakal penari Gandrung.
Selanjutnya, muncul penari Gandrung pertama yang adalah seorang laki-laki bernama Marsan. Lambat laut Gandrung berkembang dan lebih banyak dibawakan penari perempuan.
Perkembangan Gandrung ini juga ditampilkan dalam fragmen tersebut. Digambarkan seorang Penari Gandrung perempuan pertama menggunakan selendang putih diusung menggunakan sebuah tandu.
Penari Gandrung perempuan pertama itu adalah Gandrung Semi. Fragmen kemudian berlanjut dengan penampilan beberapa penari Gandrung membawakan tarian Jejer Gandrung
Setelah fragmen tersebut selesai, ribuan penari Gandrung diiringi pengiring atau yang biasa disebut "paju" masuk ke dalam lapangan. Usia mereka beragam mulai usia sembilan tahun hinggai 71 tahun.
Mereka kemudian menari Gandrung bersama-sama diiringi dengan gamelan Kembang Waru dan Embat-embat. "Ada 2.106 penari yang terlibat baik penari Gandrung atau pengiring yang disebut "paju". Dan ada 161 kru termasuk puluhan penabuh gamelan (wiyogo) dan pesinden," papar Budianto, ketua panitia pagelaran ini kepada Kompas.com Sabtu (23/11/2013).
Budianto menambahkan, tari kolosal "Gandrung Sewu" menjadi sebuah perhelatan khusus karena melibatkan interaksi dengan masyarakat.
Interaksi itu terjadi ketika para penonton pria kemudian diajak menari dan berperan sebagai para paju. "Paju Gandrung biasanya dihadirkan saat masyarakat Using, suku asli Banyuwangi menggelar hajatan," jelasnya.