Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari ”Kita” di antara ”Aku” dan ”Kamu” di Aceh

Kompas.com - 14/10/2013, 18:12 WIB

KOMPAS.com - Tepuk tangan menggema saat tujuh penari asal Papua memasuki pelataran Museum Tsunami, Banda Aceh, akhir September lalu. Diiringi alunan lagu ritmik yang diputar dari tape recorder, penari yang menghiasi tubuhnya dengan rumbai tali rafia sebagai bawahan dan hiasan kepala dari helai tapas sagu itu membawakan tarian Pangkur Sagu nan rancak.

Baroe kali nyoe long kalen tarian lage nyan (baru kali ini saya melihat langsung tarian seperti ini),” kata Zuraida (38), dalam bahasa Aceh, saat menyaksikan tarian itu bersama ratusan warga Banda Aceh lainnya.

Penonton yang semula jauh dari arena pun mendekat. Sesekali sorakan penonton menimpali gerakan dinamis dari anak-anak asli Papua itu.

Tari Pangkur Sagu bukan satu-satunya yang disajikan. Atraksi liong, barongsai, tari kipas China, dan tarian khas Sunda, jaipong, turut menghibur warga yang hadir di halaman museum yang dibangun untuk memperingati tragedi tsunami tahun 2004 di Aceh itu. Tarian khas Aceh juga ditampilkan.

Penghargaan perbedaan

Di daerah lain mungkin mudah menyaksikan tarian dari etnis lain dalam pertunjukan secara langsung. Namun, konflik yang lama di Aceh membuat ekspresi seni lintas etnis seakan mati.

Padahal, bukan hanya suku Aceh, Gayo, Kluet, atau Jamee yang mendiami provinsi itu. Di dalamnya juga hidup suku lain, seperti Jawa, Tionghoa, Minang, Batak, Sunda, bahkan Papua, meski minoritas dalam jumlah. Aceh pun tidak hanya terdiri atas umat Islam, tetapi juga dihuni penganut Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya.

Pentas ragam seni Nusantara itu adalah salah satu bagian dari peringatan Hari Perdamaian Dunia, 21 September lalu. Acara ini digelar oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Aceh yang peduli dengan isu pluralisme, antara lain Yayasan Anak Bangsa, Komunitas Tionghoa di Aceh, Flower Aceh, dan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK). Hadir pula Alisa Wahid, putri sulung mantan Presiden KH Abdurrahaman Wahid; tokoh perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman; Asisten II Pemerintah Aceh, Said Mustafa; dan Wakil Wali Kota Banda Aceh Iliza Saaduddin Jamal.

Yang tampil adalah warga Aceh dari etnis yang beragam. Mereka mementaskan seni sesuai asalnya. ”Kami ingin menunjukkan Aceh itu beragam. Dalam keragaman, kami ingin mengampanyekan penghargaan dan penghormatan pada perbedaan, baik agama, suku bangsa, maupun budaya,” kata Liza Cici Dayani, aktivis perempuan Aceh.

Penghargaan atas perbedaan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Aceh hingga kini. Kekerasan sektarianisme beberapa kali masih terjadi, seperti pembantaian jemaah Teungku Aiyub di Plimbang, Kabupaten Bireuen, pelarangan pembangunan tempat ibadah bagi umat beragama tertentu, dan penggerebekan terhadap beberapa dayah (pesantren) yang dinilai sesat.

Retakan etnis hadir seiring dengan perkembangan politik di Aceh. Misalnya, tuntutan pemisahan diri oleh etnis Gayo dan warga di bagian barat dan selatan Aceh dari provinsi itu. Tuntutan ini dipicu oleh sejumlah kebijakan Pemerintah Aceh yang dinilai mendiskriminasi etnis non-Aceh, seperti pengajuan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bendera Aceh dan penentuan Wali Nanggroe Aceh yang kurang mengakomodasi warga di luar suku Aceh.

Alisa mengatakan, keragaman seharusnya menjadi modal Aceh untuk kembali menjadi suku bangsa yang besar seperti pada masa silam. Kebesaran Aceh, seperti pada masa Samudera Pasai dan Iskandar Muda, dibangun oleh beragam etnis yang kemudian membentuk jati diri Aceh.

Persoalan penghormatan terhadap keberagaman sebenarnya tidak hanya di Aceh, tetapi juga dihadapi Indonesia. ”Kini orang lebih sibuk mempertunjukkan ’aku’ dan ’kamu’, bukan ’kita’. Akibatnya, kondisi kebangsaan kita terus bermasalah,” kata Alisa lagi. (m burhanuddin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com